Langsung ke konten utama

THE PHILOSOPHICAL AND THEORETICAL GROUND OF MATHEMATICS EDUCATION

THE PHILOSOPHICAL AND THEORETICAL

GROUND OF MATHEMATICS EDUCATION

Oleh:

Sari Nurlita, S.Pd

 

A.    Ideology of Education

 

Ø  Radical

Ideologi pendidikan yang berkaitan dengan pembelajaran yang kolektif. Bagaimana seluruh kelompok belajar secara kolektif melalui tindakan untuk mencapai perubahan. Pembelajaran dengan ideologi radikal ini adalah tentang tantangan dan perubahan. Adapun tujuan politiknya adalah untuk mendukung pembelajaran seumur hidup atau meningkatkan kemampuan. Belajar dalam ideologi ini melibatkan orang-orang menantang struktur sosial, mengubah sifat dan substansi dunia tempat mereka bekerja. Bekerja dalam hal ini adalah sebagai kelompok kolektif untuk emndapatkan control lebih besar atas bagaimana struktur itu terbentuk, dan mendapatkan control lebih langsung atas kehidupan mereka sendiri.

 

Ø  Conservative

Pada dasarnya, konservatisme merupakan posisi yang mendukung ketaatan terhadap organisasi pelayanan pendidikan dan proses-proses budaya yang sudah teruji lama dan mapan, diikuti dengan rasa hormat yang mendalam terhadap hukum dan tatanan, sebagai landasan perubahan sosial yang konstruktif. Di dalam dunia pendidikan, seorang konservatif beranggapan bahwa sasaran utama sekolah adalah pelestarian dan penerusan pola sosial yang telah ada serta tradisi yang sudah mapan

 

Ø  Liberal

Pada ideologi liberal, pembelajaran adalah untuk pribadi individu. Pendidikan dalam ideologi ini menawarkan pembelajaran untuk stimulasi intelektual individual atau pengayaan pribadi. Dalam ideologi ini telah mendominasi kesetaraan dalam diskusi pendidikan atua proses pembelajaran. Bahasa hak sering digunakan dalam mengklarifikasi sejumlah agumen liberal untuk kesetaraan dalam pendidikan. Hal ini sejalan dengan kebangkitan liberalism sejak abad ke-18, gagasan atas hak pendidikan sangat popular. Penjelasan tentang ha katas pendidikan yang sama cenderung menjadi peraturan yang paling ketat dalam penerapannya pada tingkat pendidikan yang lebih mendasar, sehngga ha katas pendidikan dasar cenderung diberlakukan sebagia jaminan untuk dididik sambal memiliki ha katas pendidikan dasar.

Pandangan dalam kebebasan pendidikan dapat dipahami untuk menunjukan bahwa seseorang (siswa, otang tua, guru, dll) harus memiliki kedaulatan dalam menentukan apa yang akan diajarkan dan bagaimana caranya. Terkait dengan dorongan ini untuk menentukan apa yang diajarkan (dan bagaimana) adalah agagsan bahwa kebebasna dalam pendidikan harus menekan pengaruh doktrinasi yang meluas. Indoktrinasi dalam konteks ini dianggap dalam hal penyimpangan pendidikan karena memaksa seseorang dalam berfikir atau penilaian tertentu.

 

Ø  Humanist

Ideologi pendidikan humanist adalah reaksi terhadap sistem pendidikan yang dipandang tidak manusiawi dan seperangkat kondisi pembelajaran yang oleh sebagian orang dianggap tidak manusiawi. Di banyak sekolah, siswa sering diminta untuk menjadi pembelajar pasif atau dituntut untuk belajar dengan cara yang tidak wajar bagi mereka. Mereka dipaksa untuk mempelajari hal-hal yang abstrak atau tidak ada hubungannya dengan pengalaman dunia nyata mereka. Mereka dimanipulasi oleh penghargaan eksternal, persaingan dan ketakutan akan kegagalan. Hanya dimensi oggnitif kemanusiaan mereka yang diakui. Dan, hanya cara tradisional untuk mengetahui dan berada di dunia yang dianggap bernilai.

Ideologi pendidikan humanist memberikan alternatif model pendidikan pabrik tradisional yang memperlakukan siswa sebagai produk di ban berjalan 13 tahun. Di pabrik-pabrik pendidikan ini standar tinggi identik dengan standardisasi karena semua siswa dipaksa diberi kurikulum yang sama. Fakta dan keterampilan yang sama melekat pada semua siswa di tempat yang telah ditentukan saat mereka berbaris diam-diam di sepanjang langkah kunci seperti mobil yang bergerak di jalur perakitan. Efisiensi. keseragaman, dan kontrol siswa dan guru dihargai atas kreativitas, inovasi, individualitas, dan kebebasan. Mengajarkan kurikulum menjadi lebih penting daripada mengajar siswa. Sifat yang dapat diukur dan dikuantifikasi dinilai melebihi kreativitas, inspirasi, dan intuisi.

Di jalur pendidikan ini guru dianggap sebagai pekerja pabrik belaka. Mereka diberitahu apa yang harus diajarkan, bagaimana mengajar, dan kapan mengajarkannya. Tes standar digunakan sebagai sistem kendali mutu untuk menentukan efektivitas pekerja pabrik dan untuk memastikan kualitas produk pendidikan (siswa) Hasil pendidikan dijelaskan dalam bentuk angka dan peringkat persentil. Mereka diurutkan, dikategorikan, diberi label, dan ditentukan oleh seberapa jauh mereka dari beberapa norma mitos.

 

Ø  Progressive

Istilah progresif dalam pendidikan telah digunakan agak sembarangan; ada sejumlah jenis progresivisme pendidikan, sebagian besar jenis yang signifikan secara historis memuncak pada periode antara akhir abad kesembilan belas dan pertengahan abad kedua puluh. Dua ahli teori besar yang berpengaruh dalam gerakan ini adalah Jean-Jacques Rousseau dan John Dewey.

 

Ø  Socialist

Pendidikan sosialis umum merupakan tujuan resmi kurikulum di GDR, dengan tujuan eksplisit untuk menciptakan kepribadian sosialis (Block dan Fuchs (1993)). Tujuan ini menemukan jalannya ke setiap mata pelajaran sekolah. Selain itu, ada dua mata pelajaran yang secara eksplisit dikhususkan untuk sosialisme, keduanya diajarkan sejak kelas tujuh: Ilmu Sosial (Staatsbürgerkunde), yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan mendalam tentang MarxismeLeninisme dan sistem sosialis GDR, dan Pengantar Produksi Sosialis. Hampir 14 persen dari keseluruhan jam mengajar untuk kelas 7 sampai 10 (yang merupakan nilai yang menarik dalam strategi empiris kami) dikhususkan untuk mengajar mata pelajaran sosialis ini. Di EOS dan sekolah kejuruan, jam yang dikhususkan untuk mengajar mata pelajaran sosialis berkurang tiga perempatnya dibandingkan dengan kelas 7 sampai 10 di POS.

 

REFERENSI:

 

Fakih, Mansour. (2001). “Ideologi dalam Pendidikan : sebuah pengantar”,dalam William F. O‟neil, Ideologi-ideologi Pendidikan. yogyakarta :Pustaka Pelajar.

Fielding. M & Moss, P. (2011). Radical Education and the Common School. Routladge: New York

Kovacs, P,. (2009). Education for Democracy: It is Not an Issues of Dare; It is an Issues of Can. Teacher Education Quarterly. 9-23

Jhonson, A.P,. (2015). Humanistic Learning Theory: Education in Search of Its Soul

Thomson, W.C,. 92017). Liberalism in Education. Oxford Research Encyclopedia of Education. DOI:10.1093/acrefore/9780190264093.013.49

 

 

 

--------------------------------------------------------------------------------------------

Nature of Education

 

Ø  Obligation (Kewajiban)

Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara tetapi pendidikan dasar merupakan kewajiban yang harus diikuti oleh setiap warga negara dan pemerintah wajib membiayai kegiatan tersebut. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting untuk membangun pendidikan di Indonesia. Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha dasar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan atau keahlian dalam kesatuan organis harmonis dinamais, di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan adalah usaha yang terencana dalam mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi diri untuk dirinya sendiri dan lingkungannya/ masyarakat.

 

Ø  Preserving (Melestarikan)

Pendidikan selayaknya mengalami regenerasi dan perbaikan terus meneruskan sehingga perlu dilestarikan. Pendidikan sendiri digunakan sebagai medi adalam melestarikan ilmu dan budaya di suatu daerah.

 

Ø  Transforming (transformasi)

Transformasi adalah salah satu sifat pendidikan yang berkaitan dengan perubahan dan perbaikan menuju pendidikan yang sesuai dengan zamannya. Transformasi Pendidikan adalah suatu perubahan yang terjadi pada segala aspek pada Pendidikan baik dalam hal proses pembelajaran maupun kurikulum yang berlaku. Sudah tidak asing lagi bahwa pendidikan selain transfer of knowledge (transfer ilmu), juga berfungsi sebagai transfer of value (transfer nilai). Nilai di sini juga dimaksudkan pendidikan sebagai transfer untuk perubahan sosial. Lebih sempit pendidikan formal berfungsi sebagai proses pembaharuan sosial. Pendidikan merupakan investasi manusiawi (human investment) yang sangat penting dalam kemajuan suatu masyarakat. Oleh karena itu banyak bangsa-bangsa di dunia ini meletakkan pendidikan sebagai faktor strategis dalam merespon berbagai kemajuan.

 

Ø  Liberating (membebaskan)

Dalam banyak kesempatan, Freire mengatakan bahwa pendidikan adalah elemen yang paling vital bagi manusia pembebasan. Baginya, pendidikan menjadi permanen jalan menuju pembebasan melalui dua tahap. Pertama, dengan pendidikan orang menjadi sadar akan realitas penindasan terhadap diri mereka sendiri dan lingkungan mereka. Dengan demikian, melalui gerakan praksis untuk mengubahnya. Kedua, pendidikan adalah proses permanen dari tindakan budaya untuk pembebasan dan kemajuan peradaban.

Pada ideologi liberal, pembelajaran adalah untuk pribadi individu. Pendidikan dalam ideologi ini menawarkan pembelajaran untuk stimulasi intelektual individual atau pengayaan pribadi. Dalam ideologi ini telah mendominasi kesetaraan dalam diskusi pendidikan atua proses pembelajaran. Bahasa hak sering digunakan dalam mengklarifikasi sejumlah agumen liberal untuk kesetaraan dalam pendidikan. Hal ini sejalan dengan kebangkitan liberalism sejak abad ke-18, gagasan atas hak pendidikan sangat popular. Penjelasan tentang ha katas pendidikan yang sama cenderung menjadi peraturan yang paling ketat dalam penerapannya pada tingkat pendidikan yang lebih mendasar, sehngga ha katas pendidikan dasar cenderung diberlakukan sebagia jaminan untuk dididik sambal memiliki ha katas pendidikan dasar.

 

Ø  Needs (kebutuhan)

Pendidikan adalah suatu kebutuhan. Layaknya kebutuhan kehidupan sehari-hari seperti sandang, pangan dan papan, pendidikan menjadi salah satu kebutuhan primer. Adanya Pendidikan memberikan fungsi kehidupan menjadi lebih bermakna dan bermanfaat.

 

Ø  Democracy

Sistem politik yang mengeras tidak dapat memperhitungkan realitas atau urgensi baru. Oleh karena itu, demokrasi membutuhkan aduan dan tantangan, karena melalui aduan dan tantangan demokrasi berkembang dengan realitas sosial, politik, dan lingkungan. Menolak pertumbuhan demokrasi, percaya bahwa demokrasi telah selalu didefinisikan, "adalah undangan untuk pemberontakan dan revolusi" (Dewey, 1927, hal. 34). Jika suatu negara tidak mengundang dan mengizinkan individu untuk berpartisipasi dalam pembuatannya kembali, dan jika suatu negara tidak menciptakan ruang untuk tantangan itu sendiri, maka negara tersebut adalah otoriter, teokratis, totaliter, atau fasis; tidak bisa disebut demokratis. Pemahaman demokrasi yang organik atau berkembang ini membantu menghindari potensi penggunaan istilah yang menguniversalkan. Dengan peringatan ini, ada beberapa prinsip sentral yang diwujudkan oleh demokrasi, dan secara default sekolah demokratis dan guru demokratis. “Demokrasi,” dalam kata-kata Mark Olssen (2004, hlm. 64), “mendesak perlindungan hak asasi manusia, mengakui kekhasan sub-budaya, memastikan prinsip-prinsip inklusi dan keterbukaan, dan memastikan penerapan universal dari supremasi hukum…." Lebih jauh, dan penting untuk diingat pada saat dalam sejarah negara ini ketika elit dalam pemerintahan membenarkan membuang semua hal di atas, “demokrasi selalu merupakan gerakan publik yang bersemangat untuk membuat elit bertanggung jawab—ini adalah inti dan fondasi paling dasar pengambilan keputusan. punggung kekuasaan seseorang dalam menghadapi penyalahgunaan kekuasaan elit” (West, 2004, hlm. 68). Demokrasi, selalu dan selamanya, melindungi hak asasi manusia, mengakui sub-budaya, memastikan supremasi hukum, memungkinkan tantangan terhadap hukum yang ada, dan menghargai kekuasaan rakyat atas korporatisme, oligarki, plutokrasi, teokrasi, fasisme, fundamentalisme, dan otoritarianisme. William B. Stanley (2004, hlm. 192) berpendapat bahwa “demokrasi tidak terjadi begitu saja; itu harus dipupuk dan dipelajari.” Makalah ini berpendapat bahwa penanaman dan pembelajaran demokrasi harus dilakukan di sekolah umum, terutama di kelas-kelas yang ditugaskan untuk mempelajari sosial, karena “ilmu sosial” harus menawarkan kesempatan bagi anak-anak untuk terlibat dan merenungkan komunitas yang mereka huni. Dalam masyarakat demokratis yang organik, berkembang, dan partisipatif, siswa, orang tua, guru, dan masyarakat akan memiliki suara yang sama—bersama, tidak setara—dalam penetapan agenda pendidikan. Sekolah mempengaruhi komunitas yang mereka layani, dan dalam demokrasi individu dipengaruhi.

Di sekolah demokratis, pengalaman siswa harus menjadi pusat pendidikan siswa. Siapa siswa ini? Kemana saja dia? Kemana dia ingin pergi? Keterampilan dan kapasitas apa yang akan membantunya sampai di sana? Menanggapi pertanyaan seperti itu sebelum menstandardisasi kurikulum siswa memungkinkan apa yang disebut Henry Giroux (2005, p. 197) sebagai "pedagogi kemungkinan," sebuah pedagogi di mana "pengalaman siswa memberikan dasar untuk menganalisis bentuk sosial yang merekonstruksi karakter subjektif dari cerita, kenangan, dan makna yang ada saat siswa datang ke sekolah.” Pedagogi semacam itu, yang responsif terhadap sifat subjektif dari pengalaman siswa, tidak dapat terjadi di sekolah yang mengurangi perkembangan siswa menjadi pengembangan yang diperlukan untuk penyesuaian yang rapi ke dalam Amerika Serikat yang hiper-produktif. Kata-kata Ralph Waldo Emerson tepat di sini, karena Emerson percaya bahwa pendidikan harus “menghormati anak.” “Bukanlah tugas Anda untuk memilih apa yang akan dia ketahui, apa yang akan dia lakukan,” jelas Emerson (2004, hlm. 236), yang memperingatkan para pendidik bahwa melalui terlalu banyak “mengganggu dan menggagalkan dan terlalu banyak mengatur, [anak] dapat dihalangi dari tujuannya dan dijauhkan dari miliknya.” NCLB, dengan pembatasan dan resepnya, merusak dan menggagalkan, menghalangi anak-anak dengan memberlakukan pembatasan,

 

 

REFERENSI:

 

Freire Paulo. (2008). Education as a Process: Pedagogical Correspondence with Guinea-Bissau Educators. Yogjakarta: Student Library.

Kovacs, P. (2009). Education for Democracy: It Is Not an Issue of Dare; It Is an Issue of Can. Caddo Gap Press. 36(1): 9-23

Nadziroh, Chairiyah & Wachid Pratomo. (2018). Hak dan Warga Negara dalam Memperoleh Pendidikan Dasar di Indonesia.Trihayu:Jurnal Pendidikan Ke-SD-an. 4(3): 400-405.

Rinawati, A,. (2015). Transformais Pendidikan untuk Menghadapi Globalisasi. Ekuitas: Jurnal Pendidikan Ekonomi. 3(1): 93-103

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

The Nature of Mathematics

 

Ø  Body of Knowledge

Matematika diperlakukan sebagai tubuh pengetahuan, dalam bentuk ideal, yang ada dengan sendirinya, yang mungkin atau mungkin tidak dirasakan oleh pikiran manusia. Aristoteles, murid Plato, percaya bahwa matematikawan membangun ide-ide matematika sebagai hasil dari idealisasi pengalaman mereka dengan objek (Dossey 1992).

 

Ø  Science of truth (Ilmu Kebenaran)

Salah satu dari beberapa jawaban yang telah diberikan untuk masalah kita menegaskan bahwa kebenaran dari matematika, bertentangan dengan hipotesis ilmu empiris, tidak memerlukan bukti faktual atau pembenaran lain karena mereka "bukti sendiri." Pandangan ini, bagaimanapun, yang pada akhirnya menurunkan keputusan tentang kebenaran matematika untuk perasaan bukti diri, menghadapi berbagai kesulitan. Pertama-tama, banyak teorema matematika yang sangat sulit untuk ditetapkan bahkan untuk spesialis di bidang tertentu mereka muncul sebagai sesuatu yang tidak terbukti dengan sendirinya. Kedua, diketahui bahwa beberapa hasil matematika yang paling menarik-terutama di bidang-bidang seperti teori himpunan abstrak dan topologi-berlawanan dengan intuisi yang mendarah daging dan jenis perasaan pembuktian diri yang biasa. Ketiga, adanya dugaan matematis seperti Goldbach dan Fermat, yang isinya cukup mendasar dan belum diputuskan hingga hari ini, tentu saja menunjukkan bahwa tidak semua kebenaran matematika dapat menjadi jelas dengan sendirinya. Dan akhirnya, bahkan jika bukti diri hanya dikaitkan dengan postulat dasar matematika, dari mana semua proposisi matematika lainnya dapat disimpulkan, akan relevan untuk berkomentar bahwa penilaian tentang apa dapat dianggap sebagai self-evident yang subjektif; mereka mungkin berbeda dari orang ke orang orang dan tentu saja tidak dapat menjadi dasar yang memadai untuk keputusan mengenai

validitas objektif dari proposisi matematika.

 

Ø  Structu­re of truth (Struktur kebenaran)

Matematika sebagai struktur kebenaran adalah bagian dari sifat matematika. Hal tersebut berkaitan dengan sifat dasar matematika yaitu logis. Menurut Hudoyo (1979: 96) dikatakan bahwa: “Hakikat Matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur dan hubungan-hubungan yang diatur menurut urutan yang logis. Jadi, matematika berkenaan dengan konsep-konsep abstrak. Suatu kebenaran matematis dikembangkan berdasarkan alasan logis. Namun, kerja matematis terdiri dari observasi, menebak dan merasa, mengetes hipotesa, mencari analogi, dan sebagaimana yang telah dikembangkan di atas, akhirnya merumuskan teorema-teorema yang dimulai dari asumsi-asumsi dan unsur-unsur yang tidak didefinisikan. Ini benar-benar aktivitas mental.”

 

Ø  Process of Thinking (Proses Berpikir)

Matematika adalah sebagai proses berpikir. Dalam mempelajari matematika, kita membutuhkan proses berpikir dalam menafsirkan maupun menyelesaikan masalah matematika. Proses berpikir merupakan suatu proses yang dilakukan seseorang dalam mengingat kembali pengetahuan yang sudah tersimpan di dalam memorinya untuk suatu saat dipergunakan dalam menerima informasi, mengolah, dan menyimpulkan sesuatu. Proses berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah masalah matematika berbeda setiap individunya, salah satu faktornya adalah Adversity Quotient (AQ). AQ merupakan suatu kemampuan yang dimiliki seseorang dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu permasalahan. AQ terdiri dari 3 tipe, yaitu climber, camper, dan quitter

 

Ø  Social Activi­ties (Kegiatan Sosial)

 

Selain sebagai proses berpikir maupun  ilmu kebenaran matematika juga sebagai kegaitan social. Dimana dalam proses mempelajari matematika membutuhkan interaksi untuk bisa saling bertukar ilmu maupun pemahaman. Adapun dalam kegiatan sehari-hari matematika juga digunakan dalam kehidupan social atau kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan perhitungan.

Prestasi belajar matematika dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal murid-murid. Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi adalah interaksi sosial dengan teman dalam belajar kegiatan. Dalam pembelajaran modern, pembelajaran berpusat pada siswa, sehingga interaksi siswa bersifat diperlukan untuk mempelajari kompetensi dasar tertentu. Potensi dan motivasi siswa dalam belajar diharapkan dapat berkembang dengan interaksi sosial yang baik agar mendapatka hasil yang maksimal. Sosial Interaksi merupakan aspek penting dalam pembelajaran Matematika karena siswa mendapatkan kesempatan untuk mengungkapkan pikiran mereka sendiri dalam rangka mendorong refleksi atas pengetahuan yang mereka miliki.

Standar untuk Konten Matematika adalah akombinasi yang seimbang antara prosedur dan pemahaman. Harapan yang dimulai dengan kata “mengerti” seringkali merupakan peluang yang sangat baik untuk menghubungkan praktik dengan konten. Siswa yang kurang memahami suatu topik mungkin terlalu mengandalkan prosedur. Tanpa fleksibel dasar dari mana untuk bekerja, mereka mungkin cenderung untuk mempertimbangkan masalah analog, mewakili masalah secara koheren, membenarkan kesimpulan, menerapkan matematika pada situas praktis, menggunakan teknologi dengan penuh perhatian untuk bekerja dengan matematika, jelaskan matematika secara akurat kepada siswa lain, Langkah kembali untuk ikhtisar, atau menyimpang dari yang diketahui prosedur untuk menemukan jalan pintas. Singkatnya, kekurangan pemahaman secara efektif mencegah siswa dari terlibat dalam praktik matematika.

 

 

REFERENSI:

 

B Apriliyanto et al 2018 J. Phys.: Conf. Ser. 983 012130

Dossey, J.A,. (1992). The nature of Mathematics: Its Role and Its Influence. 39-47

G. Hempel (1945) On the Nature of Mathematical Truth, The American Mathematical Monthly, 52:10P1, 543-556, DOI: 10.1080/00029890.1945.11999203

Hudoyo & Herman. (1979). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas. Surabaya, Indonesia: Usaha Nasional.

Trninic, D. (2015). Body of Knowledge: Practicing Mathematics in Instrumented Fields of Promoted Action.

Widyastuti, R,. (2015). Proses Berpikir Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika berdasarkan Teori Polya ditinjau dari Adversity Quotient Tipe Climber. Al-Jabar: Jurnal Pendidikan Matematika. 6(2): 183-193.

 

--------------------------------------------------------------------------------------------

The Nature of School Mathematics

 

Ø  Search for pattern and relation (Mencari pola dan relasi)

Kegiatan matematika sekolah meliputi penyelidikan terkait suatu pola dan hubungan. Telah kita ketahui bahwa dalam memepelajari matematika, tidak lepas dari mempelajari suatu rumus atau pola dan relasi di dalamnya. Adapun dalam hal ini guru sebagai fasilitator mampu membantu siswa untuk memahami dan menyelesaikan masalah matematika yang mencangkup relasi antar pola atau rumus. Dalam hal ini matematika sekolah tidak sepenuhnya sama dengan matematika sebagai ilmu murni. Dikatakan tidak sepenuhnya sama karena memiliki perbedaan antara lain dalam hal (1) penyajian, (2) pola pikir, (3) keterbatasan semesta, dan (4) tingkat keabstrakan

 

Ø  Problems Solving (Pemecahan Masalah)

Pemecahan masalah memiliki tradisi panjang dalam matematika sekolah, dan memiliki banyak aspek dan karakterisasi. Untuk memudahkan pemahaman, oleh karena itu kit mulai dengan memberikan definisi pemecahan masalah (lih. Kantowski, 1980): suatu situasi dikatakan sebagai masalah ketika seorang individu harus menggabungkan (untuk dia) informasi baru dengan (baginya) cara baru untuk memecahkan masalah. Jika individu dapat segera mengenali prosedur yang diperlukan, situasinya a tugas standar (atau tuga rutin atau latihan). Istilah tugas non-standar sering digunakan untuk merujuk pada tugas yang biasanya tidak dapat ditemukan dalam buku matematika.

 

Ø  Investigation/ Research (Penyelidikan/Penelitian)

Adapun sifat matematika sekolah adalah penyelidikan atau penelitian. Dalam hal mempelajari matematika, siswa tidak lepas dari hal menyelidiki suatu kasus seperti halnya menyelesaikan soal matematika tentang persamaan linear dua variable. Siswa diminta untuk menyelidiki kasus tersebut terkait jumlah penyelesaian yang didapat.

Sesuai dengan pengertian, matematika adalah studi tentang topik-topik seperti kuantitas (angka), struktur, ruang, dan mengubah. Ada berbagai pandangan di antara ahli matematika dan filsuf mengenai hal yang tepat ruang lingkup dan definisi matematika. Matematikawan mencari pola dan menggunakannya untuk merumuskan dugaan baru. Matematikawan menyelesaikan kebenaran atau kepalsuan dugaan dengan bukti matematis. Ketika matematika struktur adalah model yang baik dari fenomena nyata, maka penalaran matematis dapat memberikan wawasan atau prediksi tentan alam. Melalui penggunaan abstraksi dan logika, matematika dikembangkan dari menghitung, menghitung, mengukur, dan mempelajari bentuk secara sistematis dan gerak benda fisik. Matematika praktis telah menjadi aktivitas manusia sejak jauh ke belakang karena ada catatan tertulis. Penelitian yang diperlukan untuk memecahkan masalah matematika dapat membutuhkan waktu bertahun-tahun atau bahkan berabad-abad untuk penyelidikan berkelanjutan.

 

Ø  Communication (Komunikasi)

Komunikasi matematis adalah kemampuan mengungkapkan ide-ide matematis secara runtut kepada teman sebaya, guru atau orang lain melalui bahasa lisan dan tulisa (Armiati, 2009: hlm. 271). Ini menyiratkan bahwa komunikasi matematis adalah keterampilan penting dalam pembelajaran matematika. Salah satu cara untuk mengekspresikan kemampuan komunikasi matematis adalah dengan representasi yang relevan. Representasi adalah bentuk baru dari hasil terjemahan a masalah atau interpretas diagram atau model fisik ke dalam simbol atau kata-kata (NCTM, 1989). Beberap contoh representasi matematis yang dikemukakan oleh Cai, Lane dan Jakabcsin (1996) adalah visual (yaitu, gambar, grafik dan tabel) dan aljabar (matematika ekspresi), serta tulisan dalam bahasa itu sendiri (baik tulisan formal maupun informal.teks).

 

REFERENSI:

Armiati. (2009). Komunikasi matematis dan kecerdasan emosional. Paper presented at Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. Retrieved from http://eprints.uny.ac.id/7030/1/P16-Armiati.pdf

Cai, J., Lane, S., & Jakacsin, M.S. (1998). Assessing students mathematics communication. School Science and Matehmatics Journal, 96(5), 238–246.

Kantowski, M. G. (1980). Some Thoughts on Teaching for Problem Solving. In S. Krulik & R. E. Reys (Eds.), Problem Solving in School Mathematics. NCTM Yearbook 1980. (pp. 195–203). Reston (VA): Council

National Council of Mathematics. (1989). Curriculum and evaluation standard for school mathematics. Virginia: NCTM

Rahmah, N,. (2013). Hakikat Pendidikan Matematika. Al-Khawarizmi. 1(10): 1-10

--------------------------------------------------------------------------------------------

Moral of Mathematics Education

 

Ø  Good vs Bad

Matematika modern memiliki struktur deduktif-aksiomatik dan umumnya menunjukkan a konstruksi hierarkis. Jadi, sulit untuk memahami konsep matematika tanpa menyadarinya dari mata pelajaran pendahuluannya. Struktur deduktif-aksiomatis matematika ini bergantung pada: istilah yang tidak terdefinisi, definisi dan aturan logis (Swadener & Soedjadi, 1988). Absolutisme filsuf; yang melihat matematika dari perspektif ini, menghargainya sebagai ilmu abstrak dan juga mereka berpikir bahwa itu tertarik pada generalisasi, teori dan abstraksi. Jadi, matematika adalah dilihat sebagai bidang yang tidak memiliki pilihan sosial dan hanya menjadi perhatian segelintir orang. Dan matematika bebas nilai; artinya, itu netral (Bishop, 1998; Bishop, 2002; Ernest, 1991). Padahal, matematika sarat dengan nilai-nilai. Hal ini tidak netral. Namun, nilai umumnya diajarkan secara implisit daripada eksplisit dalam matematika. Namun, nilai jarang dianggap serius di diskusi pendidikan matematika dan guru matematika umumnya tertarik operasi yang hanya memiliki satu jawaban. Mereka tidak percaya nilai-nilai yang diajarkan dalam pelajaran matematika (Clarkson et al., 2000). Saat ini, program circulum disusun dengan cara ini

 

Ø  Pragmatism

Pragmatisme adalah filsafat pendidikan yang mengatakan bahwa pendidikan harus tentang kehidupan dan pertumbuhan. Artinya, guru harus mengajar siswa hal-hal yang praktis untuk hidup dan mendorong mereka untuk tumbuh menjadi orang yang lebih baik. Istilah 'Pragmatisme' berasal dari kata Yunani 'Pragma' yang berarti 'Aktivitas' atau 'Praktek' atau 'Tindakan'.Karena tindakan mendapat prioritas di atas pemikiran, Pragmatisme juga dikenal sebagai 'Pengeluaran' yang percaya pada 'kepraktisan atau 'utilitas' tergantung pada kebenaran, realitas, kebaikan atau keburukan yang semuanya merupakan istilah relatif dan bukan ditentukan sebelumnya atau mutlak. Pragmatisme cenderung berpegang pada gagasan bahwa kebenaran/fakta kemarin perlu dialami benar-benar, hari ini dan besok. Ini mengidealkan aktivitas atas dasar konsekuensinya dari jangka waktu. Singkatnya, itu mengkonseptualisasikan kesimpulan berdasarkan kebutuhan, keadaan, dan tempat yang berubah atau berubah.Kaum pragmatis percaya bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak dan permanen karena selalu berubah dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat dan dari keadaan ke keadaan. Dengan demikian, awal fundamental mereka adalah "perubahan". Apapun itu benar kemarin belum tentu benar hari ini. Filosofi para pragmatis ditentukan sebelumnya oleh ide-ide dan nilai-nilai itu yang menghasilkan manfaat bagi umat manusia dalam waktu, tempat atau keadaan tertentu daripada kehidupan yang telah ditentukan sebelumnya.

Filsafat pragmatis adalah filsafat praktis yang tidak memiliki standar tetap atau absolut. Manusia selalu menciptakan yang baru nilai-nilai dan pendidikan harus membantunya dalam melakukannya. Menjadi sekolah filsafat praktis dan utilitarian, Pragmatisme telah mempengaruhi pendidikan secara maksimal. Ia telah mencoba mengatasi keterbatasan sekolah lain seperti idealisme dan naturalisme dan telah mempengaruhi dunia untuk sebagian besar.

 

Ø  Humani­ty

Pendidikan humanity merupakan reaksi terhadap sistem pendidikan yang dipandang tidak manusiawi dan seperangkat kondisi untuk belajar yang oleh sebagian orang dianggap tidak manusiawi. Di banyak sekolah siswa sering diminta untuk menjadi pembelajar pasif atau dituntut untuk belajar dengan cara yang tidak alami bagi mereka. Mereka dipaksa untuk mempelajari hal-hal yang abstrak atau tidak ada hubungannya dengan pengalaman dunia nyata mereka. Mereka dimanipulasi oleh penghargaan eksternal, persaingan dan ketakutan akan kegagalan. Hanya dimensi kognitif kemanusiaan mereka diakui. Dan, hanya cara tradisional untuk mengetahui dan berada di dunia dianggap berharga. Pendidikan humanistik memberikan alternatif model pabrik tradisional pendidikan yang memperlakukan siswa sebagai produk di ban berjalan 13 tahun. Dalam pendidikan ini standar tinggi pabrik identik dengan standarisasi karena semua siswa dipaksa makan kurikulum yang sama. Fakta dan keterampilan yang sama melekat pada semua siswa di tempat yang telah ditentukan saat mereka berbaris diam-diam di sepanjang langkah kunci seperti mobil yang bergerak di jalur perakitan. Efisiensi,

keseragaman, dan kontrol siswa dan guru dihargai atas kreativitas, inovasi, individualitas, dan kebebasan. Mengajarkan kurikulum menjadi lebih penting daripada mengajar siswa. Sifat-sifat yang dapat diukur dan dikuantifikasi dinilai lebih dari kreativitas, inspirasi, dan intuisi.

 

Ø  Justice, Freedom

Teori-teori filosofis dapat berhasil disajikan dalam persamaan matematika. Ini adalah matematisasi dari filsafat. Misalnya, kita dapat menganalisis secara matematis keadilan dengan cara berikut: keadilan = perdamaian x kebebasan x persamaan. Dalam teori keadilan matematika ini, keadilan adalah dianalisis dalam hal perdamaian, kebebasan, dan kesetaraan, dan sebagai hubungan matematis dan/atau persamaan, sehingga keadilan adalah sama dengan perdamaian dikalikan dengan kebebasan yang pada gilirannya dikalikan oleh kesetaraan. Persamaan keadilan matematis ini menyiratkan bahwa jenis keadilan yang terbaik atau jumlah keadilan yang maksimal adalah diperoleh jika da hanya jika kita memiliki jumlah atau derajat maksimum perdamaian, kebebasan, dan kesetaraan bagi setiap orang

 

REFERENCES

DeCarvalho, R. (1991). The humanistic paradigm in education. The Humanistic Psychologist, 19(1), 88-104

--------------------------------------------------------------------------------------------

Value Mathematics Education

 

Ø  Intrinsic

Dalam pendidikan matematika, motivasi siswa memainkan peran kunci, (Gelman dan Greeno, 1989; Hannula, 2006; Middleton dan Spanias, 1999; Singh, Granville, dan Dika, 2002; Walker dan Guzdial, 1999) dan prestasi matematika terkait dengan intrinsik dan ekstrinsik faktor motivasi. Penelitian telah menunjukkan bahwa motivasi intrinsic mengarah pada self-efficacy (Pajares, 1996) yang merupakan prediktor yang jelas darI kinerja akademik siswa dalam matematika (AllimanBrissett dan Turner, 2010; Mousoulides dan Philippou, 2005). Siswa yang termotivasi secara intrinsik adalah tidak putus asa dengan masalah yang lebih kompleks (Middleton dan Spanias, 1999) dan mereka menghabiskan lebih banyak waktu pada tugas, cenderung lebih gigih, dan percaya diri dalam menggunakan yang berbeda, atau lebih menantang, strategi untuk memecahkan masalah matematika (Lepper, 1988; Lepper dan Henderlong, 2000). Siswa yang secara intrinsik termotivasi untuk belajar matematika meningkatkan prestasi mereka, tekad mereka dalam menghadapi kekecewaan, dan kepercayaan diri mereka (Lehmann, 1986; Pokay dan Blumenfeld, 1990). Kursus matematika bisa jadi sulit dan motivasi intrinsik bisa berikan energi kepada anak-anak untuk menginvestasikan upaya dan memanfaatkan strategi yang diperlukan untuk menjadi sukses (Froiland, Oros, Smith, dan Hirchert, 2012). Dalam studi skala besar menggunakan data TIMSS, Mullis et al. (2000) menemukan bahwa siswa yang menunjukkan sikap positif terhadap matematika dan menunjukkan tanda-tanda motivasi intrinsik lebih mungkin untuk mendapatkan skor yang lebih tinggi. Siswa yang termotivasi secara intrinsik adalah lebih mungkin daripada rekan-rekan mereka untuk menggunakan strategi matematika yang efektif seperti memperkirakan, memvisualisasikan, dan memeriksa (Montague, 1992).

 

Ø  Extrinsic

Djamarah (2011) menyatakan bahwa seseorang yang melakukan aktivitas belajar secara terus-menerus tanpa motivasi dari luar dirinya merupakan motivasi intrinsik yang sangat penting dalam aktivitas belajar. Namun, seseorang yang tidak mempunyai kemauan untuk belajar, dorongan dari luar dirinya merupakan motivasi ekstrinsik yang diharapkan. Oleh karena itu, motivasi ekstrinsik diperlukan bila motivasi intrinsik tidak ada dalam diri seseorang sebagai subjek belajar. Menurut Uno (2011) indikator motivasi ekstrinsik ada tiga, yaitu adanya penghargaan dalam belajar, adanya kegiatan yang menarik dalam belajar, dan adanya lingkungan belajar yang kondusif

 

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

The Nature of Students

 

Ø  Empty Vessel

Percaya bahwa seorang anak adalah wadah kosong berarti percaya bahwa anak-anak tidak dapat berpikir atau menanggapi dunia di sekitar mereka. Istilah 'wadah kosong' menunjukkan bahwa pikiran bayi tidak mengandung apa-apa dan membantu mereka untuk berkembang berarti hanya mengisi ruang dengan fakta. Para ahli teori dan ilmuwan telah menghabiskan bertahun-tahun meneliti dan mengembangkan ide-ide yang menunjukkan bahwa bahkan seorang anak yang belum lahir mampu mengembangkan kepekaan terhadap lingkungannya dan oleh karena itu perkembangan manusia dimulai jauh sebelum dunia luar memberikan pengaruhnya pada seorang anak (Muir & Slater 2000, hal.68).

 

Ø  Character Building

Pendidikan pembentukan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada masyarakat masyarakat sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk mengimplementasikan nilai-nilai tersebut (Zainal Aqib, 2012 : 20). David Elkind & Freddy Manis, mengartikan pendidikan pembentukan karakter sebagai berikut: “pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti. Ketika kita memikirkan karakter seperti apa yang kita inginkan untuk anak-anak kita, jelaslah bahwa kita ingin mereka dapat menilai apa yang benar, sangat peduli tentang apa yang benar, dan kemudian melakukannya apa yang mereka yakini benar, bahkan dalam menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam ".Thomas Lickona memberikan pengertian "Pendidikan pembentukan karakter adalah upaya yang disengaja untuk mengembangkan karakter yang baik berdasarkan nilai-nilai inti yang baik untuk individu dan kebaikan bagi masyarakat”. Pendidikan karakter adalah usaha yang disengaja untuk mengembangkan kebaikan karakter berdasarkan kebajikan inti yang baik untuk individu dan baik untuk masyarakat.

 

Ø  Creativity

Kreativitas adalah proses yang sulit dipahami bagi banyak seniman. Sudah menjadi rahasia umum bahwa seniman telah lama berjuang dengan memulai dan mempertahankan kreativitas. Ada banyak faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang untuk berkreasi. Berbagai individu dari seniman visual hingga penulis telah mengidentifikasi sifat kreativitas dan hambatan yang menghalanginya. Sebelum seseorang dapat mengidentifikasi hal-hal yang berfungsi untuk menghambat kreativitas, itu akan menjadi bijaksana untuk menetapkan arti umum untuk kata "kreativitas" seperti yang digunakan dalam ini proyek. Kreativitas ada pada semua orang. Beberapa orang telah belajar mengolahnya dan yang lain belum. Kreativitas adalah tindakan membuat sesuatu atau membawa sesuatu menjadi kenyataan. Ini adalah sebuah proses. Berbagai penulis yang telah menulis tentang materi iklan proses berbagi perspektif bahwa setiap individu adalah kreatif.

 

Ø  Growing like a seed Constructing

Siswa belajar dengan menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan dan konsep yang sudah mereka ketahui, sehingga membangun makna baru (NRC, 2000). Penelitian menunjukkan bahwa siswa menghubungkan pengetahuan paling efektif di kelas sosial yang aktif, di mana mereka menegosiasikan pemahaman melalui interaksi dan pendekatan yang bervariasi. Instruktur harus menyadari bahwa siswa, sebagai pelajar pemula, seringkali memiliki kerangka kerja konseptual yang kurang berkembang atau tidak lengkap (Kober, 2015). Akibatnya, mungkin diperlukan waktu untuk mempelajari cara "memotong" pengetahuan ke dalam kategori yang serupa dan dapat diperoleh kembali, menumbuhkan ide-ide konseptual yang lebih besar, dan menghubungkan ide-ide. Mereka mungkin juga menyimpan kesalahpahaman atau cara berpikir yang salah, yang dapat membatasi atau melemahkan koneksi dengan pengetahuan baru (Ambrose, et. al, 2010).

Instruktur dapat membangun pendekatan yang membantu siswa mengembangkan dan mempelajari jalur untuk menjadi pembelajar ahli yang kerangka konseptualnya saling berhubungan secara mendalam, dapat ditransfer, berakar pada landasan memori dan keterampilan yang kuat, dan mudah diambil kembali (Ambrose, et. al, 2010). Siswa membangun kerangka kerja konseptual yang kuat ketika instruktur: membantu mereka menilai dan mengklarifikasi pengetahuan sebelumnya; memfasilitasi lingkungan sosial melalui kegiatan belajar aktif yang menghubungkan ide-ide dan berbagai pendekatan pengetahuan; dan undang siswa untuk berefleksi, bersama-sama membangun peta jalan kursus, dan mengejar bentuk metakognisi lainnya.

 

REFERENSI:

 

Ambrose, S., Bridges, M., Lovett, M., DiPietro, M., & Norman, M (2010). How Learning Works: 7 Research – Based Principles for Smart Teaching. San Francisco: Jossey-Bass.

Aqib, Zainal. 2012. Pendidikan Karakter Di Sekolah Membangun Karakter Kepribadian Anak. Bandung: Yrama Widya

Kober N. (2015). Reaching Students: What Research Says About Effective Instruction in Undergraduate Science and Engineering. Board on Science Education, Division of Behavioral and Social Sciences and Education. Washington, DC: National Academies Press. 

National Research Council. (2000). How People Learn: Brain, Mind, Experience, and School: Expanded Edition. Washington, DC: The National Academies Press.

Ray, J.H,. 1997. The Nature of Creativity: An Examination of the Creative Process. California State University. 1-77

 

 

 

--------------------------------------------------------------------------------------------

The Nature of Students’ Ability

 

Ø  Talent Given

Konsep talenta erat kaitannya dengan performance dan achievement. Bakat adalah apa yang memungkinkan atau memfasilitasi pencapaian di masa depan. Referensi terhadap bakat seseorang tidak menunjuk pada keterampilan saat ini atau sifat lain yang mungkin dimiliki seseorang, tetapi lebih pada perolehan sifat-sifat ini di masa depan. Misalnya, bakat matematika yang tinggi dapat memungkinkan seseorang untuk mengembangkan kemampuan matematika yang tinggi di masa depan. Prestasi masa depan, seperti kemampuan musik atau matematika, tidak hanya kembali ke gen seseorang. Mereka juga kembali ke instruksi yang bermanfaat dari guru matematika yang berkualifikasi tinggi atau kepada orang tua yang berdedikasi pada matematika itu sendiri. Oleh karena itu, beberapa penulis mengkritik referensi bakat 'alami' karena mengabaikan keadaan eksternal ini. Misalnya, Vopat (2011) menunjukkan bahwa bakat harus dikaitkan dengan lingkungan di mana anak dibesarkan: 'Dalam keluarga yang tampaknya menghasilkan individu yang lebih berbakat, para peneliti telah menunjukkan bahwa lingkungan di mana anak dibesarkan bertanggung jawab untuknya. atau kemampuannya, dan bukan kumpulan genetik dari mana mereka berasal' (hal. 63). Bahkan jika warisan genetik mungkin memainkan beberapa peran, mereka pasti tidak menentukan untuk pencapaian di masa depan.

 

Ø  Effort

Motivasi dan pembelajaran siswa tidak hanya dipengaruhi oleh keyakinan mereka sendiri tentang kemampuan dan usaha. Apa yang orang tua dan guru yakini tentang sifat kemampuan dapat mempengaruhi cara mereka mendukung pembelajaran anak-anak. Di paruh kedua pembicaraan, Dr. Miele akan membahas penelitian yang menunjukkan bahwa orang tua dan guru dengan mindset berkembang yang kuat lebih mungkin daripada mereka yang memiliki mindset berkembang yang lemah untuk terlibat dalam praktik instruksional yang mendukung otonomi (praktik yang dapat mendorong pembelajaran mandiri) dan cenderung tidak terlibat dalam praktik pengendalian, terutama ketika bekerja dengan siswa yang dianggap memiliki tingkat kemampuan yang rendah dalam domain tertentu.

 

Ø  Competency

Kompetensi mungkin paling erat kaitannya dengan kemampuan. Namun, dalam kerajinan, Pembelajaran dan Pengembangan kami, istilah kemampuan biasanya berarti mampu melakukan atau bakat khusus; sedangkan kompetensi lebih berkaitan dengan keahlian dan pengalaman. Kompetensi dapat dianggap sebagai keadaan atau kualitas yang memenuhi syarat untuk melakukan tugas. Seseorang memperoleh kompetensi melalui pendidikan, pelatihan, pengalaman, atau kemampuan alami. Kompetensi berbasis keterampilan dapat dilatih dan dipelajari, sedangkan kompetensi berbasis perilaku dan menggambarkan karakteristik dan kepribadian individu. Kompetensi juga dapat dipelajari, tetapi karena sifatnya yang berbasis perilaku, tidak mungkin hanya untuk mengajarkan atau mengukurnya. (Sanghi, 2007)

 

Ø  Contextual

Contextual merupakan sifat kemampuan siswa belajar yang mengatkaitkan antara materi yang dipelajarinya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen pembelajaran efektif (Nurhadi, 2005:5)

 

REFERENSI:

 

Mayer, K. (2021). Talents, abilities and educational justice. Educational Philosophy and Theory. 53(8): 799-809

Miele, D. (2019). Improving Students' Mathematics Experiences: How Does Success Impact Students' Memories, Motivation, and Engagement?. Institute of Education Sciences.

Nurhadi. 2005. Membaca Cepat dan Efektif (Teori dan Latihan). Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sanghi, S. (2007). The Handbook of Competency Mapping: Understanding, Designing and Implementing Competency Models in Organizations. New Delhi: Sage Publications.

Vopat, M. C. (2011). Magnet schools, innate talent and social justice. Theory and Research in Education, 9(1), 59–72. Crossref

 

--------------------------------------------------------------------------------------------

The Aim of Mathematics Education

 

Ø  Transfer Knowladge

Transfer pengetahuan adalah proses akademisi terlibat dalam berbagai kegiatan untuk menyampaikan pengetahuan mereka kepada khalayak yang berbeda. Transfer pengetahuan membutuhkan pertukaran dua arah untuk kolaborasi yang sukses dan berkelanjutan. Transfer pengetahuan bekerja paling baik ketika orang secara aktif mencari peluang untuk berkolaborasi atau bertemu secara spontan untuk bertukar pikiran. Ini juga membutuhkan dukungan aktif dan tepat waktu dari sebuah institusi, yang perlu memberikan akses terbuka yang lebih baik dan solusi inovasi terbuka bagi para siswanya agar sumber daya lebih mudah diakses dan terjangkau.

 

Ø  To develop People Comprehensively

Pendidikan yang holistik komprehensif adalah pendidikan yang bertujuan memberikan kebebasan peserta didik untuk mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tetapi juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan, sehingga tercipta manusia yang berkarakter kuat, yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia yang utuh merdeka yang hidup lahir batinnya tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan diri sendiri.

 

REFERENSI

Azman. Z,.2019. Pendidikan Islam Holistik dan Komprehensif.

--------------------------------------------------------------------------------------------

Nature of Learning

 

Ø  Work Hard Exercises, Drill Memorize

Istilah drill and practice didefinisikan sebagai metode pengajaran yang dicirikan oleh pengulangan sistematis dari konsep, contoh, dan masalah praktik. Drill and practice adalah latihan yang disiplin dan berulang, digunakan sebagai sarana untuk mengajar dan menyempurnakan suatu keterampilan atau prosedur. Sebagai strategi instruksional, itu mempromosikan perolehan pengetahuan atau keterampilan melalui pelatihan sistematis dengan beberapa pengulangan, latihan, latihan, dan terlibat dalam latihan untuk belajar atau menjadi mahir. Mirip dengan memori, latihan dan latihan melibatkan pengulangan keterampilan tertentu, seperti ejaan atau perkalian. Untuk mengembangkan atau mempertahankan keterampilan khusus seseorang, sub-keterampilan yang dibangun melalui latihan dan latihan harus menjadi blok bangunan untuk pembelajaran yang lebih bermakna.

 

Ø  Thinking and Practice

Banyak peneliti tindakan, termasuk Kurt Lewin, telah dipengaruhi oleh system berpikir, tetapi yang tidak selalu jelas adalah sejauh mana hal ini dilakukan dengan sengaja – dengan kesadaran akan teori yang berbeda dan garis keturunan praktis yang digambarkan. Dari perspektif ini apa yang diterima (atau tidak diterima) sebagai praktik sistem muncul dalam hubungan sosial sebagai bagian dari praksis kehidupan sehari-hari. Dengan ini penjelasan seseorang yang pada awalnya tahu sedikit sejarah tetapi memiliki pengalaman system praktek, penyelidikan apresiatif, partisipatif penelitian tindakan, penyelidikan kolaboratif, dll. Sebagai memiliki banyak kesamaan bisa, melalui penyelidikan yang terkait denga sejarah, atau garis keturunan, mulai membuat perbedaan yang lebih halus dari semacam yang telah diwujudkan oleh para praktisi dari masing-masing tradisi ini. Artinya, saya bisa mengenali bahwa dalam perbuatan mereka, praktisi yang berbeda adalah melahirkan tradisi pemahaman yang berbeda.

 

Ø  Understanding and Application

Sebuah studi menunjukkan bahwa terminologi yang terkait dengan teori belajar sering disalahpahami (Chance, 2003; Warren-Smith & McGreevy, 2008) dan dengan demikian dapat disalahgunakan dalam situasi pelatihan. Penerapan prinsip-prinsip teori belajar yang salah telah terkait dengan perkembangan perilaku yang tidak diinginkan pada kuda yang ditunggangi (McGreevy & Mclean, 2007) dan paling buruk dapat merugikan kesejahteraan. Secara khusus, penyalahgunaan penguatan negatif dapat secara tidak sengaja menghukum perilaku jika waktu pelepasan stimulus tidak sesuai (McGreevy, 2004), dan kurangnya rilis dapat memberikan sinyal yang kontradiktif untuk kuda mengarah ke perilaku indikasi konflik (McGreevy & Mclean, 2010). Mengapa kesalahpahaman ini terjadi tidak diketahui; Namun, diusulkan bahwa valensi emosional dari bahasa yang digunakan dalam terminologi teori belajar mungkin menjadi faktor yang berkontribusi. Manusia dikenal untuk memahami bahasa dalam konteks emosional (Lindquist & Gendron, 2013; Barrett et al., 2007) dan karena itu diusulkan penggunaan istilah "positif" dan "negatif" dalam teori pembelajaran terminologi, sementara awalnya digunakan dalam bentuk paling murni sebagai gradien matematika, dapat menyebabkan kebingungan karena penggunaannya yang lebih umum sebagai sinonim untuk "baik" dan "buruk."

 

Ø  Eksploration

Pendekatan jelajah alam sekitar adalah pendekatan pembelajaran yang memanfaatkan lingkungan alam sekitar kehidupan peserta didik, baik lingkungan fisik, sosial, teknologi maupun budaya sebagai objek belajar biologi yang fenomenanya dipelajari melalui kerja ilmiah (Marianti dan Kartijono 2005). Jelajah alam sekitar secara komprehensif memadukan berbagai pendekatan antara lain eksplorasi dan investigasi, konstruktivis, penemuan, keterampilan proses dengan cooperative learning.

 

Ø  Discussion. Autonomy, Self

Metode diskusi adalah berbagai forum terbuka, pertukaran kolaboratif ide-ide di antara seorang guru dan siswa atau di antara siswa untuk tujuan memajukan berpikir siswa, belajar, pemecahan masalah, pemahaman, atau apresiasi sastra. Peserta menyajikan berbagai sudut pandang, menanggapi ide-ide orang lain, dan merenungkan ide-ide mereka sendiri dalam upaya membangun pengetahuan, pemahaman, atau interpretasi mereka tentang masalah yang ada. Diskusi dapat terjadi di antara anggota dyad, kelompok kecil, atau seluruh kelas dan dipimpin oleh guru atau siswa. Mereka sering melibatkan diskusi tentang teks tertulis, meskipun diskusi juga dapat berfokus pada masalah, isu, atau topik yang memiliki dasar dalam "teks" dalam arti istilah yang lebih luas (misalnya, disiplin, media, norma). Istilah lain untuk diskusi yang digunakan untuk tujuan pedagogis adalah instruksional percakapan (Tharp & Gallimore, 1988) dan percakapan substantif (Newmann,1990).

Otonomi dalam pembelajaran bahasa bergantung pada pengembangan dan Latihan kapasitas untuk melepaskan diri, kritis refleksi, pengambilan keputusan, dan tindakan mandiri (Little 1991: 4); pembelajar mandiri memikul tanggung jawab untuk menentukan tujuan, isi, ritme, dan metode pembelajaran mereka, memantau kemajuannya, dan mengevaluasi hasilnya (Holec 1981: 3). Littlewood (1996) menunjuk bahwa otonomi mengandung dua komponen kunci: kemampuan peserta didik dan kesediaan merek untuk membuat pilihan secara mandiri. Benson (2001) mendefinisikan otonomi sebaga kapasitas untuk mengendalikan kecenderungannya sendiri, yang didasarkan pada pada keinginan, kemampuan, dan kebebasannya untuk mengontrol. Definisi tersebu menjelaskan apa yang dapat dilakukan oleh pembelajar mandiri lakukan, daripad bagaimana mereka mampu melakukannya. Kemudian, banyak perhatian bergeser ke pelatihan dan pengembangan pembelajar bahasa otonom di dalam kelas, yang berfokus pada tentang metodologi pengajaran dan pembelajaran bahasa dengan otonomi. Hedge (2000) membingkai pendekatan untuk pelajar otonomi melalui pelatihan pelajar. Harmer (2001: 336–340) pelatihan pelajar yang disarankan, pengambilan keputusan di kelas, da pembelajaran di luar kelas. Kumaravadivelu (2003) berfokus pada bagaimana pembelajaran di kelas dapat dibentuk dan dibentuk kembali oleh guru sebagai hasil dari pengamatan diri, analisis diri, dan evaluasi diri. Metode pengajaran ini untuk otonomi kelas menetapkan kerangka kerja untuk suatu Tindakan riset. Ushioda (1996: 2) menyatakan bahwa pembelajar bahasa yang otonom menurut definisi adalah pembelaja yang termotivasi. Di dalam Dengan kata lain, otonomi pembelajar berkaitan erat denga regulasi diri yang dipahami sebagai 'sejauh mana' individu adalah peserta aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. (Dörnyei 2005: 191).

 

Self-Determination Theory berpendapat bahwa tindakan otonom adalah didefinisikan sebagai regulasi oleh diri sendiri, diri menjadi proses sentral yang mengatur perilaku dan pengalaman. Ini adalah teori organisme bahwa menerim bahwa manusia memiliki kecenderungan alami untuk tumbuh dan mengasimilasi aspek lingkungan mereka. Perilaku pada dasarnya adalah produk dari interaksi antara organisme dan lingkungan. Tindakan yang ditentukan sendiri dan otono adalah tindakan yang diatur oleh pusat ego yang fenomenal (Pfander, 1908/1967).

 

REFERENSI

Benson, P. (2001). Teaching and researching autonomy in language learning. London: Longman.

Benson, P. (2003). Learner autonomy in the classroom. In D. Nunan (Ed.), Practical English language teaching (pp.  289–308). New York: McGraw Hill

Chance, P. (2003). Learning and behaviour. Belmont, CA: Wadsworth Thomson Learning.

Delazer, M., Domahs, F., Bartha, L., Brenneis, C., Locky, A., & Trieb, T. (2004). The acquisition of arithmetic knowledge – an fMRI study. Cortex, 40, 166–167.

Kumaravadivelu, B. (2003). Beyond methods: Macrostrategies for language teaching. New Haven: Yale University Press.

Littlewood, W. (1996). Autonomy: an anatomy and a framework. System, 24(4), 427–435.

Li, Shiqi. (2006). Practice makes perfect: A key belief in China. In F. K. S. Leung, K.-D. Graf, & F. J. Lopez-Real (Eds.), Mathematics education in different cultural traditions – A comparative study of East Asia and the West (The 13th ICMI Study, Vol. 9, pp. 129–138).

Littlewood, W. (1996). Autonomy: an anatomy and a framework. System, 24(4), 427–435.

Mulyani S, Marianti A, Kartijono EK, Widianti T,Saptono S, Puka KK&Bintari SH. 2008. Jelajah Alam Sekitar (JAS) Pendekatan Pembelajaran Biologi. Semarang: Biologi FMIPA UNNES

McGreevy, P. D. (2004). Equine behavior: A guide for veterinarians and equine scientists. London: W. B.Saunders.

McGreevy, P. D., & McLean, A. N. (2005). Behavioural problems in the ridden horse. In D. S. Mills and S. M.

McDonnell (Eds.), The domestic horse: The origins, development and management of its behaviour. Cambridge: Cambridge University Press.

McGreevy, P. D., & McLean, A. N. (2007). The roles of learning theory and ethology in equitation. Journal of Veterinary Behavior, 2, 108–118.

Merrill, P. F., & Salisbury, D. (1984). Research on drill and practice strategies. Journal of Computer Based Instruction, 11(1), 19–21.

Newmann, F. (1990). Higher order thinking in teaching social studies: A rationale for the assessment of classroom thoughtfulness. Journal of Curriculum Studies, 22, 41–56.

Tharp, R. G., & Gallimore, R. (1988). Rousing minds to life: Teaching, learning, and schooling in social context. Cambridge, England: Cambridge University Press

Ushioda, E. (1996). Learner autonomy 5: The role of motivation. Dublin: Authentik.

--------------------------------------------------------------------------------------------

Nature of Teaching

 

Nature Of Teaching

Nature of theaching merupakan suatu keyakinan dalam pembelajaran. Keyakinan dan nilai-nilai guru tentang pengajaran dan pembelajaran akan mempengaruhi mereka dalam praktik pengajaran ( Clark & ​​Peterson, 1986; Fang, 1996; Kagan, 1992; Thompson, 1992). Menurut Pajares (1992), ada hubungan yang kuat antara keyakinan pedagogis guru, perencanaan pengajaran, keputusan mengajar dan praktik. keyakinan yang dipegang oleh guru akan memiliki efek yang kuat dalam praktik mengajar mereka. Ini adalah karena guru akan mengubah keyakinan mereka menjadi kenyataan praktis.

Ø  Transfer Pengetahuan (Transfer Of Knowledge)

Transfer pembelajaran sangat penting untuk memahami bagaimana orang berkembang. Belajar itu penting karena tidak ada seorang pun yang dilahirkan dengan kemampuan untuk berfungsi secara kompeten sebagai orang dewasa dalam masyarakat . Menurut Akinbobola (2006), transfer of knowledge adalah kemampuan untuk memperluas apa yang telah dipelajari dalam satu konteks ke konteks baru. Pendidik berharap siswa akan pindah pengetahuan dari satu masalah ke masalah lain dalam kursus, dari satu tahun di sekolah ke yang lain, antara sekolah dan rumah, dan dari sekolah ke tempat kerja. Dalam proses transfer pengetahuan terdapat proses penciptaan pengetahuan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang saat menjadikan sebuah informasi sebagai pengetahuan untuk diirnya sendiri.

 

Ø  Motivasi Eksternal (External Motivation)

Motivasi adalah salah satu konsep kunci yang harus dipahami dalam psikologi manusia (Sevim Güllü1, Süleyman Şahin2 & Esra Kızıloğlu, 2018). Ini didefinisikan sebagai kekuatan pendorong untuk merangsang dan mengarahkan individu untuk menyelesaikan perilaku yang diinginkan dan dibutuhkan di lingkungannya dan mempertahankan perilaku tersebut. Selain itu, motivasi dapat dipahami sebagai kekuatan yang efektif untuk mewujudkan suatu tindakan atau peristiwa. Motivasi dapat dipertimbangkan dalam dua jenis, internal dan eksternal, berdasarkan sumber motivasi. Motivasi eksternal mengacu pada motivasi dari imbalan yang datang dari lingkungan sekitar individu. Motivasi ini dapat ditingkatkan dengan penghargaan eksternal, seperti menerima reword, apresiasi atau hal lainnya. Namun, sementara elemen eksternal memainkan peran penting untuk meningkatkan motivasi seseorang, tanpa elemen internal, elemen eksternal gagal memberikan motivasi yang diperlukan (Ersarı dan Naktiyok, 2012:83, 84)

 

Ø  Motivasi Internal(Internal Motivation)

Berdasarkan sumber motivasi, Motivasi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu motivasi internal dan eksternal,. Untuk motivasi internal, pekerjaan itu sendiri memotivasi individu (Sevim Güllü, Süleyman Şahin  & Esra Kızıloğlu, 2018 ) Motivasi Internal merupakan daya dorongan dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Jadi motivasi internal merupakan modal utama bagi seseorang siswa (peserta didik) apabila ingin sukses dan berhasil dalam belajar di kelas, sekolah, rumah, maupun sosial masyarakat

 

Ø  Konstruksi (Construction)

Konstruksi didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generative, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruksi sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis .Dalam konstruksi tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya, menyelesaikan perssoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.

 

Ø  Diskusi (Discussion)

Forum diskusi dianggap sebagai alat yang digunakan oleh peserta didik untuk berdiskusi dan berinteraksi tanpa batasan tempat dan waktu, dan dianggap bermanfaat alat untuk mengembangkan dimensi kognitif. Dalam hal ini, forum diskusi sangat luas digunakan oleh pendidik sebagai cara bagi siswa untuk berinteraksi, terutama bagi mereka yang pemalu atau kehilangan motivasi dan yang mengalami kesulitan berinteraksi selama pembelajaran. 

Ø  Investigasi (Investigation)

Investigasi atau penyelidikan merupakan kegiatan pembelajaran yang memberikan kemungkinan siswa untuk mengembangkan pemahaman siswa melalui berbagai kegiatan dan hasil benar sesuai pengembangan yang dilalui siswa. Kegiatan belajarnya diawali dengan pemecahan soal-soal atau masalaah-masalah yang diberikan oleh guru, sedangkan kegiatan belajar selanjutnya cenderung terbuka, artinya tidak terstruktur secara ketat oleh guru, yang dalam pelaksanaanya mengacu pada teori investigasi. Pada investigasi, siswa bekerja secara bebas, individual atau berkelompok. Guru hanya bertindak sebagai motivator atau fasilitator yang memberikan dorongan siswa untuk dapat mengungkapkan pendapat atau menuangkan pemikiran mereka serta menggunakan pengetahuan awal mereka dalam memahami situasi baru.

 

Ø  Pengembangan (Development)

Pengembangan sebagai perencanaan mengidentifikasikan masalah belajar dan mengusahakan pemecahan masalah dengan menggunakan suatu rencana terhadap pelaksanaan, evaluasi, uji coba, umpan balik, dan hasilnya, untuk mencciptakan program pembelajaran yang efektif, efisien, dan menarik.

 

Ø  Memfasilitasi (Facilitating)

Memfasilitasi pengajaran yaitu dengan guru membuka pelajaran, guru mengkondisikan siswa untuk belajar, guru mengigatkan materi yang lalu, guru menjelaskan tentang apa yang disampaikan, guru memberikan kesempatan bekerja kepada siswa. Cara guru memfasilitasi pada saat presentasi guru antara lain yaitu guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan mengingatkan materi yang lalu sebagai dasar agar siswa dapat mamahami materi akan di ajarkan. Cara guru memfasilitasi dalam tugas individu, misalnya guru dalam memberikan soal individu. Guru memberikan pancingan pada siswa dengan mengingatkan siswa pada materi yang telah dibahas dan dengan konsep yang telah dipelajari sebelumnya. Cara ini dilakukan agar siswa dapat mempunyai bayangan untuk mengerjakan soal individu. Kemudian cara guru menfasilitasi dalam memberikan klarifikasi, yaitu dengan membuatkan rangkuman materi dan rangkuman tersebut di catat oleh siswa.

 

Ø  Expository

Ekpository pengajaran dengan pembelajaran yang memberikan keterangan terlebih dahulu definisi, prinsip dan konsep materi pelajaran serta memberikan contoh-contoh latihan spemecahan masalah dalam bentuk ceramah, demonstrasi, Tanya jawab, dan penugasan. Dalam pembelajaran ekspositori guru cenderung memegang kontrol proses pembelajaran yang aktif, sementara siswa relalif pasif menerima dan mengikuti apa yang disajikan oleh guru. Pembelajaran ekspositori merupakan pembelajaran yang lebih berpusat pada guru (teacher centered), guru menjadi sumber dan pemberi informasi utama dengan maksud agar peserta didik dapat menguasai materi pembelajaran secara optimal (Hasbiyalloh et al., 2017; Watoni, 2014.

 

REFERENSI

 

Hasbiyalloh, A. S., Harjono, A., & Verawati, N. N. S. P. (2017). Pengaruh Model Pembelajaran Ekspositori Berbantuan Scaffolding Dan Advance Organizer Terhadap Hasil Belajar Fisika Peserta Didik Kelas X. Jurnal Pendidikan Fisika Dan Teknologi, 3(2), 173. https://doi.org/10.29303/jpft.v3i2.397

Ersarı, G., & Naktiyok, A. (2012). Iş görenin içsel ve dışsal motivasyonunda stresle mücadele tekniklerinin rolü/role of stress fighting tecniques in internal and external motivation of employees. Atatür Üniversitesi Sosyal Bilimler Enstitüsü Dergisi, 16(1).

Na Kew, Si., & Tasir, Zaidatun (2021). Analysing students’ cognitive engagement in e-learning discussion forums through content analysis. Knowledge Management & E-Learning, Vol.13, No. 1

Güllü, Sevim., Şahin, Süleyman & Kızıloğlu, Esra (2018)., The Effect of Internal and External Motivation on Organizational Trust: A Case Study on a Sport Organization in Turkey, International Journal of Higher Education, Vol. 7, No. 5; http://ijhe.sciedupress.com

Akinbobola, Akinyemi Olufunminiyi (2015), Enhancing Transfer of Knowledge in Physics through Effective Teaching Strategies. Journal of Education and Practice www.iiste.org , Vol.6, No.16,, ISSN 2222-1735 (Paper), ISSN 2222-288X (Online),

Clark, C. M., & Peterson, P. L. (1986). Teachers' thought processes. In M. Wittrock (Ed.), Handbook of research in teaching (3rd ed.) (pp. 255-296). New York: MacMillan.

Pajares, M. F. (1992) Teachers’ beliefs and educational research: Cleaning Up a messy construct, Review of Educational Research, 62, 3, 307-332.

Kwan Eu, Leong., Nuraini Mohd Zikre. (2016). Malaysian Mathematics Teacher’s Beliefs about the Nature of Teaching and Learning. The Malaysian Online Journal of Educational Science, Volume4 - Issue 1

Sweta, I Made. (2020). Model Pembelajaran Ekspository sebagai Upaya untuk Meningkatkan Prestasi Belajar. Journal of Education Action Research, Volume 4, Number 4, P-ISSN: 2580-4790 E-ISSN: 2549-3272

 

 

--------------------------------------------------------------------------------------------

Theory of Teaching Mathematics

Ø  Expository

Ekspository pusat mengajarnya terletak pada pendidik. Pendidik yang banyak bicara meyampaikan materi pelajaran, sedangkan pekerjaan murid pada umunya mencatat dan sebagian kecil bertanya. Dominasi guru pada ekspositiry ini banyak dikurangi. Pendidik tidak terus bicara, apakah peserta didik itu mengerti atau tidak, tetapi pendidik meberikan informasi hanya pada saat-saat atau bagian-bagian yang diperlukan. Misalnya pada permulaan pengajaran, pada topik yang baru, pada waktu meberikan contoh-contoh soal dan sebagainya. Karena itu dilihat dari terpusatnya kepada guru, metode lebih murni dari ekspository.\

 

Ø  Pemecahan Masalah (Problem Solfing)

Pemecahan masalah adalah satu pengolahan kognitif penting yang terjadi selama proses pembelajaran, dan mengacu pada usaha untuk mencapai tujuan karena tidak memiliki solusi otomatis dan banyak pakar teori pembelajaran yang menganggap bahwa problem solfing adalah proses kunci dalam pembelajaran, khususnya pada matematika dan sains. Problem solfing mengacu pada pemrosesan kognitif yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan ketika peserta didik dihadapkan masalah yang pada awalnya belum diketahui metode solusi pemecahanannya secara langsung. Munculnya masalah adalah ketika peserta didik memiliki tujuan tetapi tidak tahu diklasifikasikan sebagai masalah rutin atau tidak rutin. Masalah dalam bentuk penerapakn konsep dalam kehidupan termasuk dalam masalah tidak rutin. tidak rutin berguna untuk mendorong peserta didik berpikir logis, memperkuat pemahaman tentang tentang kosnep, mengembangkan strategi pemecahan masalah yang dapat diterapkan pada situasi lain. Problem soving tidak terjadi apabila peserta didik mempunyai kemampuan tinggi untuk menyelesaikan masalah yang memungkinkan mereka secara otomatis dapat melakukan aktivitas problem solving untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu tidak semua aktivitas pembelajaran termasuk problem solving.

 

Ø  Mengingat (Memorize)

Pada dasarnya penyimpanan memori pada pada otak manusia cenderung lebih cepat menyimpan informasi yang visualisasinya terlihat jelas. Seperti halnya dalam matematika, mengingat rumus tidak semudah membayangkannya karna otak manusia terbagi menjadi dua yakni otak kiri lebih focus pada pada hal-hal berbau logika, dan otak kanan yang memuat visual atau imajinasi. Jika kita mengandalkan strategi menghafal, kita hanya memperkuat penyimpanan jalur jangka pendek. Ini mengarah untuk memutuskan hubungan antar informasi tulisan ataupun bentuk gambar.

 

Ø  Briil

Briil adalah suatu cara mengajar dengan memberikan latihan-latihan terhadap apa yang telah dipelajari siswa sehingga memperoleh suatu keterampilan tertentu. Kata latihan mengandung arti bahwa sesuatu itu selalu di ulang-ulang, akan tetapi bagaimanapun juga antara situasi belajar yang pertama dengan situasi belajar yang realistis, ia akan berusaha melatih keterampilannya. Bila situasi belajar di ubah-ubah kondisinya sehingga menuntut respon yang berubah, maka keterampilan akan disempurnakan.

 

REFERENSI:

 

Lessani ., Abdolreza, Aida Suraya Md. Yunus, Kamariah Abu Bakar, Azadeh Zahedi Khameneh (2016). Comparison of Learning Theories in Mathematics Teaching Methods. Fourth 21st CAF Conference in Harvard, Boston, Massachusetts, USA, Vol. 9, No. 1 ISSN: 2330-1236.

Gerling, Cristina C.; Dos Santos, Regina Antunes Teixeira. (2017). Do Students Need to Memorize Facts in the Digital Age?. International Society for Technology in Education.

 

 

--------------------------------------------------------------------------------------------

The Nature of Teaching Learning Resources

 

Ø  Papan Tulis, Kapur, Anti Kalkultor (White Board, Chalk, Anti Calculator.

Media pembelajaran pada dasarnya dapat dikeompokan menjadi dua media pembelajaran modern dan media pembelajaran tradisional. Papan tulis adalah salah satu media pembelajaran tradisional yang termasuk dalam klasifikasi media grafis 2 dimensi visual karena papan tulis mempunyai panjang dan lebar dalam satu bidang datar. Papan tulis juga adalah alat pembelajaran yang dapat di kategorikan sebagai media pembelajaran karena papan tulis tersebut digunakan untuk untuk menyampaikan informasi dan digunakan untuk menyampaikan materi pelajran.

Ø  Alat Bantuan Pengajaran (Teaching Aid)

Alat bantu pemeblajaran adalah alat-alat yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi pembelajaran. Alat bantu ini lebih sering disebut alat peraga karena berfungsi untuk membantu dan memperagakan sesuatu dalam proses kegiatan pembelajaran.

Ø  Alat Bantuan Pengajaran Visual Untuk Motivasi (Visual Teaching Aid for motivation)

Penggunaan media audio visual untuk memotivasi diri sendiri adalah kemampuan individu untuk mengrahkan segala upaya dan mendorongnya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Penggunaan media audio visual ke pelajar dapat menerima informasi secara jelas dapat mencapai hasil belajar yang maksimal. Jika siswa dapat memanfaatkan dengan baik dari pengguna media audio visual ini, mereka akan mencapai prestasi yang memuaskan.

Ø  Berbagai Sumber / Lingkungan (Various Resources / Environment)

Belajar dengan mengutamakan sumber belajar adalah sistem belajar yang berorientasi kepada siswa yang di atur sangat rapi untuk belajar individu atau kelompok. Kegiatan belajar dengan menggunakan sumber belajar baik manusia maupun bahan belajar non manusia dalam situasi belajar yang di atur secara efektif. Dalam penggunaan sumber belajar belajar tersebut oleh siswa harus di arahkan oleh guru. Jadi guru bukan hanya satu-satunya sumber belajar melainkan ada sumber lain yang serta bermanfaat bagi perluasan pemahaman dan pengalaman siswa.

Ø  Lingkungan Sosial (Social Environment)

Lingkungan social dalam pembelajaran adalah keadaan fisik dan social dimana seseorang tumbuh dan belajar. Lingkungan social juga mencakup budaya kelas, dimana siswa berinteraksi dengan orang lain, dalam hal ini teman-teman, guru, dan orang-orang lainnya didalam sekolah. Lingkungan social sangat penting untuk untuk keberhasilan pembelajaran siswa. Karena itu diperlukan upaya-upaya untuk mendorong terbentuknya lingkungan social yang mendukung proses pembelajaran yang berkualitas.

 

REFERENSI

Huang, Ting. (2019) Effects of visual aids on intermediate Chinese reading  comprehension, Reading in a Foreign Language, Volume 31, No. 2 ISSN 1539-0578 pp. 173–200

Supriadi (2015), Pemanfaatan sumber belajar dalam proses pembelajaran, Lantanida Journal, Vol. 3 No. 2.

Sugiman, dkk. (2020) The Creation of Teaching Aids for Disabled Students as Mathematical- Thinking-Imaginative Product. International Journal of Instruction, Vol.13, No.3 e-ISSN: 1308-1470 . www.e-iji.net p-ISSN: 1694-609X

Thomas M Duffy dan David H. Jonassen. Constructivism and The Technology of Instruction. Hillsdale. New Jersey: Lawrence Erbaum Associates, 1992

 

 

 

--------------------------------------------------------------------------------------------

The Nature of Assessment

 

Ø  Tes External (External Test)

Penilaian Tes eksternal menunjukan wujud secara fisik dari suatu ide matematis. Suatu aktivitas yang menghasilkan ekternal sebagai suatu bentuk yang dapat diobservasi adalah menggambarkan proses yang terjadi secara internal di dalam pikiran siswa. Melalui interaksi siswa dengan eksternal membentuk skema pengetahuan siswa. Untuk memikirkan dan mengkomunikasikan gagasan-gagasan matematika, siswa perlu merepresentasikannya dengan cara-cara tertentu. Dengan demikian, apabila siswa memiliki akses representasi-representasi dari gagasan- gagasan yang mereka tampilkan, maka mereka memiliki sekumpulan alat yang siap secara signifikann akan memperluas kapasitas mereka dalam berpikir matematis.

Ø  Portofolio

Portofolio adalah kumpulan pekerjaan siswa (respon tugas) dengan tujuan mencatat kemajuan dan mendorong cerminan. Portofolio adalah prosedur yang mengharuskan siswa menyimpan catatan pekerjaan akademis mereka di dalam kotak atau folder untuk dinilai dan dikomentari oleh instruktur dan rekan-rekan (Brown, 2005). Fokus penilaian portofolio adalah lebih pada kesadaran dan pembelajaran otonom dari pada struktur bahasa. Tiga tahap dasar portofolio penilaian seperti yang direkomendasikan oleh Hamp-Lyons dan Condon (2000) adalah pengumpulan dan pemilihan karya siswa kemudian refleksi pada proses pembelajaran. Penilaian portofolio (PA) mengukur kemajuan siswa secara individual, yang secara fundamental berbeda dari norma tradisional untuk menetapkan nilai pada standar tunggal terpadu. Portofolio tugas menulis adalah sebuah  tujuan kumpulan teks siswa yang merekam usaha dan kemajuan siswa selama periode waktu tertentu (Weigle, 2007). Penilaian portofolio dapat dilakukan secara “holistik” atau “analitis” (Apple & Shimo, 2004: 54).

Ø  Sosial (Socialz)

Pengertian penilaian keterampilan sikap sosial adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui perkembangan sikap sosial siswa dalam menghargai, menghayati, dan berperilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan Penilaian social adalah proses penjelasan social seseorang untuk mengevaluasi suatu yang ada dianggap pantas atau salah bagi aktivitas dengan banyak hal yang menjadi perantara. Salah satu implikasi dari proses kognisi diatas adalah penilaian social. Seperti yang diketahui bersama bahwa kebutuhan dalam diri seseorang untuk menilai objek yang ada diluar, yang akan dijadikan rujukan untuk berperilaku, pembahasan tentang penilaian social pada awalnya didominasi oleh ranah pemrosesan informasi (kognitif) tetapi dengan perkembangan lain juga dianggap mempengaruhi. Permasalahannya sekarang adalah sejauh mana individu menilai dunia sosialnya secara akurat dan konsisten.

Ø  Kontekstual (Contextual)

Kontektual adalah suattu proses pendidikan yang holistic dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna meteri pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi tersebut denga konteks kehidupan mereka sehari-hari sehingga siswa memiliki pengetahuan /keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan dari satu permasalahan/konteks ke permasalahan/konteks lainnya.

REFERENSI:

Alam, Md. Jahangir & Tahmina Aktar. (2019). Assessment Challenges & Impact of Formative Portfolio Assessment (FPA) on EFL Learners’ Writing Performance: A Case Study on the Preparatory English Language Course. Canadian Center of Science and Education. Vol. 12, No. 7; 2019 ISSN 1916-4742 E-ISSN 1916-4750

Brown, D. J. (2005). Testing in language programs: A comprehensive guide to English language assessment. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. https://doi.org/10.1191/0265532205lt306xx

Weigle, S. (2007). Teaching writing teachers about assessment. Journal of Second Language Writing, 16(3), 194-209. https://doi.org/10.1016/j.jslw.2007.07.004

Weigle, S. (2007). Teaching writing teachers about assessment. Journal of Second Language Writing, 16(3), 194-209. https://doi.org/10.1016/j.jslw.2007.07.004

 

--------------------------------------------------------------------------------------------

The Nature of Society

 

Ø  Diversity (Perbedaan)

Perbedaan dapat diartikan sebagai fakta berbagai jenis hal atau orang yang termasuk dalam sesuatu; berbagai hal atau orang yang berbeda (Cambridge Dictionary). DeSensi (1995) berpendapat bahwa memahami perbedaan akan membantu orang mengenal diri mereka sendiri dengan lebih baik, meningkatkan hubungan antarpribadi, membantu mengembangkan apresiasi terhadap keragaman, dan menghilangkan ekspresi rasisme, seksisme, usia, dan segala bentuk diskriminasi yang mencolok. Sementara belajar tentang orang lain sangat penting, multikultur. pendidikan lebih tentang mengetahui tentang diri sendiri. Upaya untuk memperluas pemahaman seseorang tentang mereka yang berbeda dan pemeriksaan persona. perasaan yang terkait dengan pengalaman tersebut harus dilakukan.

 

Ø  Monoculture (Monokultur)

DeSensi (1995) memberikan gambaran tabel tentang apa itu monokultur dan karakteristik-karakteristiknya, seperti yang tertera dalam gambar berikut ini:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Seperti yang tertera dalam gambar tersebut, misi atau tujuan dari monokultur adalah dengan sengaja mengecualikan atau mengabaikan keragaman, lalu budaya dari monokultur itu sendiri adalah menekankan individualisme, diskrimansi, dan lain sebagainya. Hal ini tentu sangat tidak baik jika diterapkan kedalam kehidupan bermasyarakat kita.

 

Ø  Decenstralisation (Desentralisasi)

Nuradhawati (2019) berpendapat bahwa desentralisasi dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dan lain-lain) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.Inti dari desentralisasi adalah internalising cost and benefit untuk people serta bagaimana mendekatkan pemerintahan kepada rakyatnya. Itulah esensi yang terpenting dari sebuah jargon desentralisasi (Simanjuntak, 2015). Desentralisasi hanya menjadi arena yang nyaman bagi elit politik dan penguasa lokal. Karena, mereka bisa merestorasi kekuasaan politik dan meneguhkan penguasaan mereka atas sumber daya sosial dan ekonomi. Desentralisasi telah menyediakan arena yang otonom bagi kelompok itu, sehingga menjadi struktur peluang bagi optimalisasi kepentingan dan keuntungan mereka. Desentralisasi yang menyejahterkan hanya mungkin dikembangkan jika diawali dengan adanya transformasi pemikiran bahwa implementasi desentralisasi lebih dari sekadar hak politik, tetapi juga kewajiban politik daerah atas ukuran kesejahteraan masyarakat. Artinya, ukuran untuk mengaudit mutu desentralisasi harus dikembangkan dalam dimensi pemerintahan yang bertanggungjawab, sebagai ukuran bekerjanya rezim desentralisasi yang menyejahterakan (Simanjuntak, 2015).

 

Ø  Competency (Kompetensi)

Kompetensi adalah kemampuan untuk menerapkan atau menggunakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dibutuhkan untuk berhasil melakukan "fungsi kerja kritis" atau tugas dalam pengaturan kerja. Kompetensi sering menjadi dasar standar keterampilan yang menentukan tingkat pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang diperlukan untuk sukses di tempat kerja serta kriteria pengukuran potensial untuk menilai pencapaian kompetensi. Hoffman (1999) berpendapat bahwa kompetensi telah digunakan untuk mengembangkan berbagai program pembelajaran. Model pembelajaran dan instruksi dapat dijelaskan dan dijelaskan dengan menggunakan pemikiran sistem. Sebuah tinjauan literatur menunjukkan tiga posisi utama yang diambil menuju definisi syarat. Kompetensi didefinisikan sebagai salah satu (1) kinerja yang dapat diamati (Bowden dan Masters, 1993); (2) standar atau kualitas hasil dari kinerja orang tersebut (Rutherford, 1995); atau (3) atribut yang mendasari seseorang (Boyatzis, 1982).

 

Ø  Heterogonomus (Heteronomi)

Menurut KBBI, Heteronomi dapat diartikan hal ketergantungan pada undang-undang atau kuasa orang lain. Heteronomi adalah sikap manusia dalam bertindak dengan hanya sekadar mengikuti atural moral yang bersifat eksternal, suatu tindakan baik hanya karena sesuai dengan aturan moral dengan menggunakan prisip pembiaran sesuatu selain hukum moral untuk menentukan apa yang mesti dilakukan dalam bertindak, dan disertai perasaan takut atau bersalah, Heteronomi ini di kemukakan oleh seorang filosof bernama Imanuel kant (Keraf, 2000). Fletcher (2007) menyatakan bahwa Salah satu jenis Heteronomi adalah adat istiadat.  Menurut padangan tradisional adat istiadat di Indonesia harus ditaati oleh orang-orang disekitarnya, dalam hal ini dapat diartikan harus melakukannya walaupun tidak mengerti arti dan maksudnya atau tidak adat tersebut. Hal tersebut dalam aturan adat harus dilakukan semata-mata karena itu memang sebuah adat, dan harus dipenuhi segala macamnya. Dalam agama Kristen misalnya sebenarnya yang memegang pendapat serupa tentang etika Kristen: Hukum Allah harus ditaati begitu saja karea itulah hukum Allah terpasa dipatuhi karena diperintahkan. Tentu harus diakui bahwa pola etika heronom ini memang memuaskan banyak orang. Khususnya karena menawarkan keamanan bagi jiwa dan hati nurani.

 

Ø  Social Capital (Sosial Kapital)

Teori sosial kapital berpendapat bahwa hubungan sosial adalah sumber daya yang dapat mengarah pada pengembangan dan akumulasi modal manusia. Misalnya, lingkungan keluarga yang stabil dapat mendukung pencapaian pendidikan dan mendukung pengembangan keterampilan dan kredensial yang sangat dihargai dan dihargai. Dalam istilah evolusioner, modal sosial dapat didefinisikan sebagai fitur apa pun dari hubungan sosial yang menghasilkan manfaat reproduktif. (Machalek, 2015). Sementara Schuller (2010) menyatakan bahwa sosial kapital sebagai sebuah konsep sering didefinisikan secara khusus dalam istilah jaringan, menekankan sifat hubungan yang sarat norma di dalam dan di antara mereka. Diferensiasi umum jenis modal sosial menjadi tiga bentuk dasar yaitu ikatan modal sosial, yang mengacu pada hubungan di dalam atau di antara kelompok-kelompok yang relatif homogen; menjembatani interaksi sosial yang mengacu pada hubungan di dalam atau di antara kelompok-kelompok yang relatif homogen; dan menghubungkan sosial kapital yang mengacu pada hubungan antara orang atau kelompok pada tingkat hierarki yang berbeda.

 

Ø  Local Culture (Budaya Lokal)

Budaya lokal adalah segala sesuatu yang kita ciptakan dan bagikan sebagai bagian dari kehidupan kita di tempat kita tinggal atau bekerja. Budaya lokal mengakui keahlian yang dimiliki masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Orang-orang membawa banyak pengetahuan ke dalam aktivitas mereka contohnya di mana membeli daging segar, bagaimana memperbaiki sesuatu, bagaimana mencapai mufakat dalam kepanitiaan koperasi, dan lain sebagainya. Budaya lokal mengakui bahwa pengetahuan sehari-hari masyarakat berasal dari pengalaman hidup bersama dan informasi yang dikirimkan kepada mereka oleh keluarga, teman, tetangga, dan rekan kerja. Budaya lokal memiliki koneksi ke semua aspek kurikulum, termasuk: seni, musik, teater, geografi, sejarah, sosiologi, ekonomi, ilmu politik, psikologi, antropologi, cerita rakyat, membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, bahasa asing, bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, media dan teknologi, pendidikan internasional, pendidikan sejarah alam dan lingkungan, pendidikan keluarga, dan lain lain. Budaya lokal diciptakan dan berbagi budaya lokal sebagai bagian dari kehidupan masing-masing individu di tempat-tempat tertentu misalnya perkotaan dan pedesaan. Faktor umum adalah tempat, namun setiap penelitian menyelidiki tempat dengan cara yang berbeda. Budaya lokal berada dalam hubungan kita dengan lingkungan dan kearifan lokal, dalam sejarah komunitas kita dan masalah sosial kontemporer, dan dalam cerita keluarga kita.

 

REFERENSI:

Bowden, J., & Masters, G. N. (1993). Implications for higher education of a competency-based approach to education and training. Canberra, ACT: Australian Government Publishing Service.

Boyatzis, R. E. (1982). The Competent Manager: A Model of Effective Performance. New York: John Wiley & Sons.

DeSensi, J. T. (1995). Understanding Multiculturalism and Valuing Diversity: A Theoretical Perspective. Quest Vol.47 No.1, 34-43.

Fletcher, V. H. (2007). Lihatlah Sang Manusia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hoffmann, T. (1999). The meanings of competency. Journal of European Industrial Training Vol.23 No.6, 275-286.

Keraf, A. S. (2000). Pustaka Filsafat ETIKA BISNIS, Tuntunan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius.

Nuradhawati, R. (2019). DINAMIKA SENTRALISASI DAN DESENTRALISASI DI INDONESIA. Jurnal Academia Praja Vol.2 No.1, 152-170.

Richard Machalek, M. W. (2015). Sociobiology and Sociology: A New Synthesis. Elsevier.

Rutherford, P. D. (1995). Competency Based Assessment: A Guide to Implementation. Melbourne: Pitman.

Simanjuntak, K. M. (2015). POLICY IMPLEMENTATION DECENTRALIZAION GOVERNMENT IN INDONESIA. Journal of Home Affairs Governance Vol.2 No.2, 111-130.

T. Schuller, H. T. (2010). Networks and Communities of Knowledge. Elsevier Science.

Texas, T. U. (2012, January). Competencies and Learning Objective. Retrieved from UTHealth: https://sph.uth.edu/content/uploads/2012/01/competencies-and-learning-objectives.pdf

WISCONSIN–MADISON, U. o. (n.d.). Wisconsin Teachers of Local Culture. Retriev

--------------------------------------------------------------------------------------------

The Nature Curriculum

 

Ø  Instrument Curriculum

Instrument Curriculum (Instrumen Kurikulum) Ada beberapa instrumen-instrumen yang harus dipenuhi dalam kurikulum diantaranya adalah sebagai berikut:

·         Desain Kurikulum

Kurikulum yang baik hendaknya memiliki desain kurikulum yang terencana dan terorganisir sehingga hasilnya efektif.

·         Silabus dan Isi Program

Silabus dan isi program harus sudah relevan dengan tujuan yang ingin dicapai

·         Proses dan Kegiatan Pembelajaran

Proses dan kegiatan pembelajaran harus sudah dilaksanakan dengan tepat sesuai jadwal masing-masing

·         Materi dan Bahan Ajar

Materi dan bahan ajar harus sesuai dengan silabus dan isi program

·         Guru

Guru berkewajiban membantu siswa mencapai tujuan pembelajarannya dengan baik

·         Siswa

Layanan administrasi sekolah kepada siswa sudah baik dan tidak ada kendala

Ø  Subject-based Curriculum

Rifai (2012) menerangkan bahwa kurikulum berbasis kompetensi adalah seperangkat perencanaan dan pengaturan pembelajaran yang sistematis guna mencapai kompetensi tertentu. Dapat juga dikatakan bahwa kurikulum tersebut merupakan kurikulum yang berisi sejumlah kompetensi yang dibutuhkan dan perlu dikuasai oleh pembelajar untuk menjalani kehidupan mereka, baik untuk mendapatkan pekerjaan, bekerja, melanjutkan studi, maupun belajar sepanjang hayat. Kompetensi tersebut disusun dan dikemas sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk dicapai dan dikuasai oleh pembelajar (siswa / mahasiswa). Baik dalam tataran formal maupun operasional di lapangan, kurikulum berbasis kompetensi semestinya memiliki karakteristik umum, yakni: (1) Bertumpu pada pembentukan kemampuan yang diperlukan oleh siswa/mahasiswa, bukan penerusan materi belajar; (2) Berpendekatan atau berpusat pembelajaran, bukan pengajaran; (3) Berorientasi pada pemerolehan pengalaman belajar siswa / mahasiswa yang kaya, bukan perolehan pengetahuan semata; (4) Berpendekatan terpadu dan integratif, bukan diskret-analisis yang terpisah; (5) Mengutamakan kebermaknaan, keorisinilan, dan keontetikan proses pembelajaran; (6) Bermuatan multi-kecerdasan, multi-strategi; (7) Menggunakan asas maju berkelanjutan dan belajar

 

Ø  Integrated Curriculum

Menurut Cohen dan Manion (1992) terdapat tiga kemungkinan variasi pembelajaran terpadu yang berkenaan dengan pendidikan yang dilaksanakan dalam suasana pendidikan progresif yaitu kurikulum terpadu (integrated curriculum), hari terpadu (integrated day), dan pembelajaran terpadu (integrated learning). Kurikulum terpadu adalah kegiatan menata keterpaduan berbagai materi mata pelajaran melalui suatu tema lintas bidang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna sehingga batas antara berbagai bidang studi tidaklah ketat atau boleh dikatakan tidak ada. Hari terpadu berupa perancangan kegiatan siswa dari sesuatu kelas pada hari tertentu untuk mempelajari atau mengerjakan berbagai kegiatan sesuai dengan minat mereka. Sementara itu, pembelajaran terpadu menunjuk pada kegiatan belajar yang terorganisasikan secara lebih terstruktur yang bertolak pada tema-tema tertentu atau pelajaran tertentu sebagai titik pusatnya (center core/center of interest).

Sedangkan menurut Prabowo (2000) pembelajaran terpadu adalah suatu proses pembelajaran dengan melibatkan dan mengkaitkan berbagai bidang studi. Dan ada dua pengertian yang perlu dikemukakan untuk menghilangkan kerancuan dari pengertian pembelajaran terpadu di atas yaitu konsep pembelajaran terpadu dan IPA terpadu. Jadi Pembelajaran terpadu merupakan pendekatan belajar mengajar yang memperhatikan dan menyesuaikan dengan tingkat perkembangan anak didik (Developmentally appropriate Practical). Pendekatan yang berangkat dari teori pembelajaran yang menolak drill system sebagai dasar pembentukan pengetahuan dan struktur intelektual anak.

 

Ø  Knowledge Based Curriculum

Kurikulum berbasis pengetahuan adalah tentang memanfaatkan kekuatan ilmu kognitif, mengidentifikasi setiap keuntungan marjinal dan bertindak atasnya; memiliki kerendahan hati untuk terus menyempurnakan skema kerja, rencana jangka panjang dan menghasilkan penilaian yang lebih baik (Department of Education, 2017). Sementara sumber lain menyebutkan bahwa pembelajaran berbasis pengetahuan adalah pembelajaran yang berkisar pada pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, dan pemahaman yang akan mereka capai dengan melakukan pekerjaan. Ketika pembelajaran didasarkan pada pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, dan pengetahuan yang akan mereka capai, pembelajaran lebih baik terhubung dengan kehidupan nyata. Langkah pertama dalam menggunakan pembelajaran berbasis pengetahuan adalah memastikan bahwa guru harus memahami pengetahuan yang sudah dimiliki siswa. Guru dapat melakukan ini dengan berbicara kepada siswa, melihat pekerjaan yang telah mereka lakukan, atau meminta mereka menjelaskan kepada guru apa yang mereka ketahui. Pembelajaran berbasis pengetahuan paling baik jika dilakukan tanpa terlalu banyak tes dan kuis, meskipun kadang-kadang mungkin perlu menggunakan hal-hal ini untuk menentukan pengetahuan sekelompok siswa.

 

Ø  Competent-based Curriculum

Kurikulum yang menekankan hasil kompleks dari proses pembelajaran (yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan diterapkan oleh peserta didik) daripada berfokus pada apa yang diharapkan peserta didik pelajari dalam hal konten mata pelajaran yang didefinisikan secara tradisional. Pada prinsipnya kurikulum seperti itu berpusat pada peserta didik dan adaptif terhadap perubahan kebutuhan siswa, guru dan masyarakat. Hal ini mengandung pengertian bahwa kegiatan dan lingkungan belajar dipilih agar peserta didik dapat memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada situasi yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Kurikulum berbasis kompetensi biasanya dirancang berdasarkan seperangkat kompetensi/kompetensi utama yang dapat bersifat lintas-kurikuler dan/atau terikat mata pelajaran (IBE Unesco). Di negara Indonesia Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum 2004, adalah kurikulum dalam dunia pendidikan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2004 walau sudah ada sekolah yang mulai menggunakan kurikulum ini sejak sebelum diterapkannya. Secara materi, sebenarnya kurikulum ini tak berbeda dari Kurikulum 1994, perbedaannya hanya pada cara para murid belajar di kelas.Dalam kurikulum terdahulu, para murid dikondisikan dengan sistem caturwulan. Sedangkan dalam kurikulum baru ini, para siswa dikondisikan dalam sistem semester. Dahulu pun, para murid hanya belajar pada isi materi pelajaran belaka, yakni menerima materi dari guru saja. Dalam kurikulum 2004 ini, para murid dituntut aktif mengembangkan keterampilan untuk menerapkan IPTek tanpa meninggalkan kerja sama dan solidaritas, meski sesungguhnya antar siswa saling berkompetisi. Jadi di sini, guru hanya bertindak sebagai fasilitator, tetapi meski begitu pendidikan yang ada ialah pendidikan untuk semua. Dalam kegiatan di kelas, para siswa bukan lagi objek, tetapi subjek. Dan setiap kegiatan siswa ada nilainya. mulai di berlakukan pula wajib pramuka sebagai nilai tambah ekstrakulikuler.

 

Ø  Individual Curriculum

Kurikulum Individual adalah kurikulum yang berisi informasi agregat tentang semua program studi yang dipilih oleh siswa, beban studi mereka, tanggal kunci dan sarana penilaian. Kurikulum individu digunakan untuk merekam kurikulum keputusan bagi siswa yang diberikan kurikulum di tingkat yang lebih tinggi atau lebih rendah dari usia mereka untuk satu atau lebih mata pelajaran. Siswa memilih sendiri subjek atau kompetensi yang akan mereka pelajari

 

Ø  Interactive Curriculum

Apa makna dari kurikulum interaktif? Kurikulum interaktif mendorong keterlibatan siswa partisipasi aktif dalam pekerjaan individu maupun kelompok. Hal ini menawarkan guru seperangkat materi yang koheren untuk dipilih yang dapat meningkatkan kelas mereka. Kurikulum interaktif akan melibatkan siswa yang dibesarkan dalam lingkungan yang sangat terstimulasi, pembelajaran interaktif mempertajam keterampilan berpikir kritis, yang merupakan dasar untuk pengembangan penalaran analitik (Franklin, 2008). Kurikulum interaktif merupakan proses pembelajaran yang memungkinkan siswa aktif untuk melibatkan diri dalam proses pembelajaran baik secara mental maupun fisik. Peran siswa dalam pembelajaran interaktif dianggap penting meskipun pendekatan pembelajaran berpusat pada siswa dan guru hanya sebagai fasilitator untuk mewujudkan proses pembelajaran yang bertujuan untuk kegiatan aktif bagi siswa. Pembelajaran interaktif dirancang agar pembelajaran siswa terfokus pada siswa agar mereka mampu aktif mengembangkan pengetahuannya melalui inkuiri dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Oleh karena itu, siswa diberi kesempatan penuh untuk melibatkan rasa ingin tahunya. Penerapan pembelajaran interaktif memiliki ciri-ciri seperti 1) terdapat variasi aktivitas klasikal, kelompok, dan individu, 2) keterlibatan mental (pikiran dan perasaan) siswa SMA, 3) guru berperan sebagai fasilitator, nara sumber, dan pengelola kelas yang demokratis, 4) menerapkan banyak cara pola komunikasi, 5) kelas yang fleksibel, demokratis, menantang dan tetap terkendali oleh tujuan, 6) potensi dampak pendampingan yang lebih efektif (Lestari, 2018).

 

Ø  ICT Based Curriculum

Information and Communication Technology (ICT) dalam konteks bahasa Indonesia disebut Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Pembelajaran berbasis ICT pada dasarnya merupakan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk menunjang proses pembelajaran agar dapat mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2011) menjelaskan definisi pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi secara konseptual sebgai pembelajaran tatap muka dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi yang memfasilitasi siswa sebagai penyampai materi maupun sebagai tutor menggunakan konten digital. Secara operasional, pembelajaran berbasis ICT merupakan aktivitas pembelajaran yang didukung infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi, menggunakan aplikasi dan aturan pengelolaan pembelajaran, serta konten digital yang merupakan bahan pengayaan pembelajaran tatap muka di kelas. Manajemen pembelajaran berbasis ICT merupakan bagaimana perencanaan pem- belajaran itu dilakukan, bagaimana pengorganisasian pembelajaran, bagimana pembelajaran itu dilaksanakan dan bagaimana mengevaluasi pembelajaran menggunakan ICT sebagai media pembelajaran. Media pembelajaran berbasis ICT ini menyediakan: 1) konten instruksional yang bersifat prosedural, deklaratif serta terdefinisi dengan baik dan jelas; 2) konten yang bersifat learner-centered yaitu konten yang menyajikan hasil (outcomes) dari instruksional yang terfokus pada pengembangan kreatifitas dan memaksimalkan kemandirian; 3) contoh kerja (work example) pada material konten untuk mempermudah pemahaman dan memberikan kesempatan untuk berlatih; 4) menambahkan konten berupa games edukatif sebagai media berlatih alat bantu pembuatan pertanyaan. Gambaran mengenai pembelajaran berbasis ICT seperti dipaparkan di atas nampak, bahwa melalui media pembelajaran seperti ini pembelajaran tidak berpusat pada guru namun siswa dapat belajar mencari tahu sendiri materi yang berhubungan dengan topik yang disajikan, dengan demikian pembelajaran ini mampu mengembangkan kreativitas siswa dan kemandirian siswa dalam belajar.

REFERENSI:

Cohen, Manion, L., & Morrison, K. (1992). Research Methods in Education. New York: Routledge Falmer.

DepartmentEducation. (2017, October 19). Governance. Retrieved from Governance: https://www.gov.uk/government/speeches/nick-gibb-the-importance-of-knowledge-based-education

Franklin, D. J. (2008). Interactive Curriculum Based on Models of Mind & Brain. Interactive Educational Media for the Neural and Cognitive Sciences.

Giarti, S. (2016). MANAJEMEN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN BERBASIS ICT. Satya Widya Vol.32 No.2, 117-126.

Kemendikbud. (2011). INDONESIA EDUCATIONAL STATISTICS IN BRIEF 2011/2012. Jakarta: Kemendikbud.

Lestari, D. A., & Sutrisno. (2018). mplementation Analysis of Curriculum 2013 TowardsInteractiveLearning Aspects and Multimedia-Based Learning. 29Jurnal Pendidikan Bisnis dan Manajemen, Vol.4 No.1, 29-38.

Prabowo. (2000). Pembelajaran Tematik Terpadu. Malang: Gaya Media.

Rifai, M. (2012). KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (Konsep Dasar dan Implementasi)). Jurnal Pendidikan Dasardan Pembelajaran Vol.2 No.1, 38-51.

Syaodih, Sukmadinata, & Nana. (2000). Pengembangan kurikulum : teori dan praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

TheClassroom. (n.d.). Knowledge Based Learning. Retrieved from Empowering Students in their collage journey: https://www.theclassroom.com/knowledge-based-learning-5403738.html

Unesco. (n.d.). Glossary Curriculum. Retrieved from International Bureau of Education: http://www.ibe.unesco.org/en/glossary-curriculum-terminology/c/competency-based-curriculum

 

--------------------------------------------------------------------------------------------

The Nature Students’ Learn Mathematics

 

Ø  Individual

Praktek yang memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan mereka sendiri dan sesuai dengan gaya belajar pilihan mereka sendiri, dan untuk mencakup bidang-bidang silabus atau pelajaran yang diperlukan untuk pembelajaran mereka. Hal tersebut adalah pendekatan yang mengharuskan guru memiliki pemahaman yang jelas tentang titik awal dan kebutuhan belajar setiap siswa, dan merupakan bagian dari praktik diferensiasi yang lebih luas. Dalam pendekatan ini, yang banyak digunakan dalam pengajaran keterampilan dasar, misalnya, siswa mungkin memiliki rencana tindakan dan tujuan pembelajaran masing-masing. Pembelajaran individual juaga merupakan praktek yang mendorong siswa untuk bekerja secara terpisah pada tugas individu, misalnya menggunakan tugas kerja, daripada bekerja sebagai kelompok atau kelas (Oxford Dictionary). Cahyono (2016) juga berpendapat bahwa pengelolaan belajar yang dilakukan secara mandiri, memungkinkan siswa untuk belajar sesuai minat dan tanpa paksaan dari pihak lain sehingga akan berdampak positif terhadap prestasi belajar yang diraihnya.

 

Ø  Competition

Persaingan dalam lingkungan belajar mewarisi keunggulan kedua kooperatif kegiatan dan kompetisi yang sehat. Akibatnya, hal itu dapat meningkatkan motivasi siswa dan prestasi akademik, meningkatkan suasana sosial di antara mereka, dan menghindari masalah yang disebutkan sebelumnya seperti peningkatan tingkat stres dan penurunan kualitas proses pembelajaran (Cantador, 2010). Issa (2014) berpendapat bahwa banyak peneliti menyatakan bahwa persaingan merusak proses pembelajaran dengan memaksa siswa untuk fokus pada tujuan bukan pada proses itu sendiri, dan juga berpendapat bahwa stres yang dihadapi siswa memiliki efek negatif karena penilaian siswa secara individu biasanya tidak dilakukan, juga tidak ada indikator bagaimana banyak siswa belajar dan banyak siswa yang berpartisipasi menjadi begitu fokus pada kompetisi jadi mereka kehilangan minat pada pembelajaran.

Ø  Motivation

Borah (2021) menerangkan bahwa motivasi dikatakan sebagai 'jantung pembelajaran', 'jalan emas menuju pembelajaran' dan 'faktor ampuh dalam pembelajaran', karena semua pembelajaran adalah pembelajaran yang termotivasi. Motivasi yang memadai menghasilkan peningkatan refleksi, perhatian, minat, dan usaha siswa dan karenanya mendorong pembelajaran dan memotivasi pelajar untuk belajar berkaitan dengan implementasi kurikulum. Hal ini karena motivasi sangat berpengaruh faktor dalam situasi belajar-mengajar. Keberhasilan belajar tergantung pada ada atau tidaknya peserta didik termotivasi. Motivasi mendorong peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran. Karena pendidikan modern adalah wajib, guru tidak dapat menerima motivasi pelajar begitu saja, dan mereka memiliki tanggung jawab untuk memastikan pelajar termotivasi untuk belajar. Guru harus membujuk peserta didik untuk mau melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Hariri (2021) juga menyatakan bahwa strategi belajar siswa merupakan aspek penting yang di dipengaruhi oleh motivasi, menyebabkan siswa menjadi pembelajar yang teratur. Ketika siswa termotivasi, belajar akan mudah. Namun, memotivasi siswa untuk belajar membutuhkan peran guru yang menantang dan gaya dan teknik mengajar yang bervariasi untuk menarik minat siswa (Atma, 2021).

 

Ø  Readiness

Kesiapan belajar adalah ciri-ciri yang dapat diamati yang menunjukkan anak-anak kecil siap untuk menerima instruksi akademik awal. Istilah belajar kesiapan berhubungan dengan kesiapan sekolah. Namun, kesiapan belajar dan kesiapan sekolah mengacu pada perbedaan aspek pembelajaran dan pendidikan awal. kesiapan sekolah mengacu pada berbagai keterampilan yang dibutuhkan anak-anak memperoleh untuk masuk dan menjadi sukses dalam pengaturan sekolah. Kesiapan belajar menunjukkan kemampuan anak-anak untuk menerima instruksi yang terarah karena anak membutuhkan fisik, motorik, bahasa, perilaku, dan sosial yang memadai keterampilan kognitif untuk dipersiapkan menerima instruksi formal. Secara khusus, anak-anak perlu mengembangkan kemampuan untuk mengatur diri sendiri, memperhatikan, dan berinteraksi tepat dengan teman sebaya dan orang dewasa. Anak-anak perlu menunjukkan kemampuan menggunakan bahasa untuk mengungkapkan ide, untuk memikirkan masalah secara sistematis, dan untuk memulai untuk memperoleh literasi awal dan konsep matematika (Vaughn-Blount, 2011).

 

Ø  Scaffolding

Scaffolding mengacu pada metode di mana guru menawarkan jenis dukungan tertentu kepada siswa saat mereka belajar dan mengembangkan konsep atau keterampilan baru. Dalam model scaffolding, seorang guru dapat berbagi informasi baru atau mendemonstrasikan bagaimana memecahkan suatu masalah. Guru kemudian secara bertahap mundur dan membiarkan siswa berlatih sendiri. Sebelum siswa menjadi benar-benar mandiri, dukungan terstruktur ditempatkan, seperti latihan kelompok. Siswa dapat bekerja sama dalam kelompok kecil untuk saling membantu. Proses dalam pendidikan ini juga kadang-kadang disebut “Saya lakukan. Kami melakukannya. Anda melakukannya.” Dengan kata lain, guru menunjukkan bagaimana sesuatu dilakukan, kemudian kelas berlatih bersama dan terakhir, siswa bekerja secara individu. Pada awal proses scaffolding, guru memberikan banyak dukungan. Dukungan itu kemudian dihapus secara bertahap. Penurunan bertahap dalam tingkat dukungan inilah yang merupakan proses scaffolding. Langkah demi langkah, proses ini menanamkan kepercayaan diri dan fasilitas dengan konsep atau keterampilan baru. Scaffolding terkait dengan karya psikolog Lev Vygotsky, yang terkenal dengan beberapa kontribusi penting untuk teori pendidikan. Vygotsky menciptakan istilah, "zona perkembangan proksimal." Zona perkembangan proksimal siswa didasarkan pada tingkat perkembangan siswa saat ini dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan potensial ini relevan dengan perancah. Untuk membantu siswa mempelajari tugas atau konsep baru, guru menargetkan zona perkembangan proksimal siswa. Itu berarti memulai dengan apa yang dapat dilakukan siswa pada tingkat perkembangan siswa saat ini dan memberikan dukungan yang pada akhirnya akan berkurang seiring dengan pertumbuhan pengetahuan dan kemandirian siswa.

 

Ø  Collaborative

Pembelajaran kolaboratif adalah pendekatan pendidikan untuk belajar mengajar yang melibatkan kelompok siswa yang bekerja sama untuk memecahkan masalah, menyelesaikan tugas, atau membuat produk. Menurut Gerlach, "Pembelajaran kolaboratif didasarkan pada gagasan bahwa belajar adalah tindakan sosial alami di mana para peserta berbicara di antara mereka sendiri (Gerlach, 1994). Melalui pembicaraan itulah pembelajaran terjadi." Ada banyak pendekatan untuk pembelajaran kolaboratif (Smith dan MacGregor, 1992) diantaranya adalah: (1) Belajar adalah proses aktif dimana siswa mengasimilasi informasi dan menghubungkan pengetahuan baru ini dengan kerangka pengetahuan sebelumnya; (2) Belajar membutuhkan tantangan yang membuka pintu bagi pelajar untuk secara aktif melibatkan rekan-rekannya, dan untuk memproses dan mensintesis informasi daripada hanya menghafal dan melupakannya; (3) Dalam lingkungan belajar kolaboratif, pelajar ditantang baik secara sosial maupun emosional saat mereka mendengarkan perspektif yang berbeda, dan diminta untuk mengartikulasikan dan mempertahankan ide-ide mereka. Dengan demikian, pembelajar mulai membuat kerangka konseptual unik mereka sendiri dan tidak hanya mengandalkan kerangka ahli atau kerangka teks. Jadi, dalam pengaturan pembelajaran kolaboratif, peserta didik memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan teman sebaya, menyajikan dan mempertahankan ide, bertukar keyakinan yang beragam, mempertanyakan kerangka kerja konseptual lainnya, dan terlibat secara aktif.

 

Ø  Constructing

Konstruktivisme dapat ditelusuri kembali ke psikologi pendidikan dalam karya Jean Piaget (1896-1980) yang diidentifikasi dengan teori perkembangan kognitif Piaget. Piaget berfokus pada bagaimana manusia membuat makna dalam kaitannya dengan interaksi antara pengalaman mereka dan ide-ide mereka. Pandangannya cenderung berfokus pada perkembangan manusia dalam kaitannya dengan apa yang terjadi pada individu yang berbeda dari perkembangan yang dipengaruhi oleh orang lain.

Ide sentral konstruktivisme adalah bahwa pembelajaran manusia dibangun, bahwa peserta didik membangun pengetahuan baru di atas dasar pembelajaran sebelumnya. Pengetahuan sebelumnya ini mempengaruhi pengetahuan baru atau yang dimodifikasi yang akan dibangun oleh individu dari pengalaman belajar baru (Phillips, 1995). Setiap individu peserta didik memiliki sudut pandang yang berbeda, berdasarkan pengetahuan dan nilai-nilai yang ada. Ini berarti bahwa pelajaran, pengajaran atau kegiatan yang sama dapat menghasilkan pembelajaran yang berbeda oleh setiap siswa, karena interpretasi subjektif mereka berbeda. Prinsip ini tampaknya bertentangan dengan pandangan bahwa pengetahuan dikonstruksi secara sosial.

 

Ø  Contextual

Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Model pembelajaran kontekstual tidak bersifat ekslusif akan tetapi dapat digabung dengan model-model pembalajaran yang lain, misalnya: penemuan, keterampilan proses, eksperimen, demonstrasi, diskusi, dan lain-lain. Pendekatan kontekstual dapat diimplementasikan dengan baik, dituntut adanya kemampuan guru yang inovatif, kreatif, dinamis, efektif dan efisien guna menciptakan pembelajaran yang kondusif.  Guru tidak lagi menjadi satu-satunya nara sumber dalam pembelajaran dan kegiatan telah beralih menjadi siswa sebagai pusat kegiatan pembelajaran serta peran guru hanya sebagai motivator dan fasilitator, maka semangat siswa dapat meningkat dengan menggunakan metode, materi, dan media yang bervariasi. Penerapan kegiatan mengkonstruk atau membangun sendiri pengetahuan pada siswa, membuat siswa terlatih untuk bernalar dan berpikir secara kritis melalui kegiatan inquiry atau menemukan sendiri masalah, kebebasan bertanya (questioning), penerapan masyarakat belajar (learning community) yaitu melatih siswa untuk bekerjasama, sharing idea, saling berbagi pengalaman, pengetahuan, saling berkomunikasi sehingga terjadi interaksi yang positif antar siswa dan pada akhirnya siswa terlibat secara aktif belajar bersama-sama (Hasnawati, 2006).

 

Ø  Enculturing

Pembelajaran Berbasis Budaya merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran (Dirjen Dikti, 2004). Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya menjadi sebuah metode bagi siswa untuk mentransformasikan hasil observasi mereka ke dalam bentuk-bentuk dan prinsip-prinsip yang kreatif tentang alam sehingga peran siswa bukan sekedar meniru atau menerima saja informasi, tetapi berperan sebagai penciptaan makna, pemahaman, dan arti dari informasi yang diperolehnya. Pembelajaran Berbasis Budaya dilandaskan pada pengakuan terhadap budaya sebagai bagian yang fundamental bagi pendidikan, ekspresi dan komunikasi suatu gagasan, serta perkembangan pengetahuan. Pembelajaran Berbasis Budaya dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu belajar tentang budaya, belajar dengan budaya, belajar melalui budaya, dan belajar berbudaya. Landasan teori pembelajaran berbasis budaya, didasarkan pada teori konstruktivisme dalam pendidikan terutama berkembang dari hasil pemikiran Vygotsky, pemikiran Piaget, serta pemikiran Brooks & Brooks.

Pembelajaran berbasis budaya bermula dari pendekatan experiental learning, yang berarti belajar melalui penghayatan langsung atas pengalaman yang dialami. Mikarsa (2007: 7.20), menerangkan syarat dalam pendekatan experiental learning, yaitu (1) Siswa memikul tanggung jawab pribadi untuk belajar apa yang ingin dicapainya, (2) lebih dari hanya sekedar melibatkan proses-proses kognitif, (3) tujuan belajarnya meliputi pula aspek keterampilan dan aspek afektif, (4) siswa aktif dalam proses pembelajaran, baik secara fisik maupun psikologis.

 

REFERENSI:

Atma, B. A., Azahra, F. F., Mustadi, A., & Adina, C. A. (2021). Teaching style, learning motivation, and learning achievement: do they have significant and positive relationships? Jurnal Prima Edukasia Vol.9 No.1, 23-31.

Borah, M. (2021). MOTIVATION IN LEARNING. JOURNAL OF CRITICAL REVIEWS Vol.8 Issue.2, 550-552.

Cahyono, T., Hidayah, N., & Muslihati, M. (2016). PENGEMBANGAN PAKET PELATIHAN KEMANDIRIAN BELAJAR DENGAN STRATEGI INDIVIDUAL LEARNING PLAN UNTUK SISWA SMP. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, & Pengembangan Vol.1 No.12, 2365-2372.

Cantador, I., & Conde, J. M. (2010). EFFECTS OF COMPETITION IN EDUCATION: A CASE STUDY IN AN E-LEARNING ENVIRONMENT. IADIS International Conference (pp. 11-18). Romania: IADIS.

Gerlach, J. (1994). Is this collaboration? New Directions for Teaching and Learning No.59.

Hariri, H., Karwan, D. H., Haenilah, E. Y., Rini, R., & Suparman, U. (2021). Motivation and Learning Strategies: Student Motivation Affects Student Learning Strategies. European Journal of Educational Research Vol.10 Issue.1, 39-49.

Hasnawati. (2006). Pendekatan Contextual Teaching Learning Hubungannya dengan Evaluasi Pembelajaran. Jurnal Ekonomi dan Pendidikan Vol.3 No.1, 53-62.

Issa, G., Al-Bahadili, H., & Hussain, S. M. (2014). Competition-Based Learning: A Model for the Integration of Competitions with Project-Based Learning using Open Source LMS. n International journal of information and communication technology education, 1-13.

Mikarsa, Lestari, H., Taufik, A., & Prianto, P. L. (2007). Pendidikan Anak di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

Oxford. (2011, August 03). Individual Learning. Retrieved from Oxford Reference: https://www.oxfordreference.com/view/10.1093/oi/authority.20110803100001770

University, G. C. (2020, December 23). What Is Scaffolding in Education? Retrieved from Grand Canyon University: https://www.gcu.edu/blog/teaching-school-administration/what-scaffolding-education

Vaughn-Blount, Burger, A., Chong, I., & Rudd, L. C. (2011). Encyclopedia of Child Behavior and Development. Springer.

 

--------------------------------------------------------------------------------------------

The Nature Mathematical Thinking

 

Ada beberapa sifat/hakikat dalam berpikir matematika, diantaranya adalah sebagai berikut:

 

Ø  Subyective

Subjektif adalah sesuatu hal yang dipengaruhi oleh atau berdasarkan keyakinan atau perasaan pribadi, bukan berdasarkan fakta (Cambridge Dictionary)

Jika kita mendefinisikan "matematika" sebagai aktivitas manusia yang dilakukan oleh para ahli matematika, maka ya, aspek-aspek tertentu dari matematika bersifat subjektif. Misalnya, matematikawan memiliki pendapat subjektif tentang apakah aksioma pilihan "harus" diterima, dan, secara lebih umum, aksioma dan bentuk deduksi logis apa yang dapat diterima. Kontroversi yang sedang berlangsung atas Teori Inter-Universal Teichmüller Shinichi Mochizuki dan dugaan bukti dugaan abc menggambarkan bahwa matematikawan juga dapat memiliki pendapat subjektif tentang apakah dugaan benar-benar terbukti (jika penulis belum mengkomunikasikan ide-ide mereka dengan cukup jelas, maka itu telah tidak benar-benar terbukti, tetapi orang-orang tidak setuju apakah ini telah terjadi). Ada juga subjektivitas dalam bagaimana nilai pekerjaan matematika diberikan. Beberapa bukti lebih elegan daripada yang lain. Beberapa penelitian melakukan lebih banyak untuk memajukan matematika daripada yang lain, dan mereka yang melakukan pekerjaan "paling layak" menerima posisi fakultas, hadiah penelitian, dan sebagainya, tetapi tidak ada algoritme untuk menentukan nilai pekerjaan dengan cara ini.

Ø  Obyective

Objektif dalam matematika berarti memahami dan mampu menggunakan bahasa, simbol, dan notasi matematika. mengembangkan rasa ingin tahu matematis dan menggunakan penalaran induktif dan deduktif ketika memecahkan masalah. menjadi percaya diri dalam menggunakan matematika untuk menganalisis dan memecahkan masalah baik di sekolah maupun dalam situasi kehidupan nyata.

Ø  Producing

Produksi adalah untuk membuat sesuatu atau membawa sesuatu menjadi ada (Cambridge Dictionary). Guru seharusnya bisa memproduksi sebuah matematika menjadi hal yang menarik bagi siswa, Daripada pendekatan yang berfokus pada menemukan jawaban untuk 4+4, siswa sekarang diminta untuk berbagi banyak cara mereka dapat membuat nilai 8. Meskipun 4+4 kemungkinan akan menjadi opsi pertama yang dibagikan, tidak akan lama bagi siswa untuk menemukan faktor lain seperti 2+6, 1+7, dan 3+5. Siswa mungkin tidak dapat menentukan sifat komutatif penjumlahan, tetapi mereka akan menyadari bahwa 6+2, 7+1, dan 5+3 juga merupakan jawaban yang valid. Lebih banyak waktu diperlukan bagi siswa untuk mulai menghasilkan tanggapan seperti 12-4, tetapi alih-alih memberi tahu siswa apa yang harus dipikirkan, guru sekarang memberi mereka kesempatan untuk bernalar. Segera setelah alternatif penambahan sederhana disarankan, gelombang solusi baru tumbuh hampir secara eksponensial. Fokus baru pada siswa yang menjelaskan pekerjaan mereka membantu guru menentukan apakah siswa memahami konsep. Waktu yang dulunya digunakan untuk mengulang-ulang suatu prosedur sekarang dihabiskan untuk menyusun, menata ulang, dan memikirkan suatu masalah. Pesan implisit dari "apa cara lain" diterima selama siswa dapat menunjukkan pemikiran matematis di balik saran mereka

 

Ø  Reflecting

Dalam matematika juga membutuhkan refleksi agar pembelajaran lebih baik kedepannya. Apakah penilaian matematika terdiri dari sistem ujian atau hanya satu tugas, itu harus dievaluasi terhadap prinsip-prinsip pendidikan konten, pembelajaran, dan kesetaraan. Sepintas, prinsip-prinsip pendidikan ini mungkin tampak bertentangan dengan prinsip-prinsip teknis dan praktis tradisional yang telah digunakan untuk mengevaluasi manfaat tes dan penilaian lainnya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, komunitas pengukuran telah bergerak ke arah pandangan penilaian yang tidak bertentangan dengan posisi yang dianut dalam buku ini. Daripada melihat prinsip-prinsip konten, pembelajaran, dan kesetaraan sebagai terobosan radikal dari tradisi psikometrik masa lalu, lebih akurat untuk melihatnya berkembang secara bertahap dari ide-ide sebelumnya. Isu tentang bagaimana mengevaluasi penilaian pendidikan sering dibahas di bawah judul "teori validitas." Validitas telah dicirikan sebagai "penilaian evaluatif terintegrasi sejauh mana bukti empiris dan alasan teoritis mendukung kecukupan dan kesesuaian kesimpulan dan tindakan berdasarkan skor tes atau mode penilaian lainnya."Dengan kata lain, penilaian tidak valid dalam dan dari dirinya sendiri; validitasnya tergantung pada bagaimana hal itu ditafsirkan dan digunakan. Validitas adalah penilaian berdasarkan bukti dari penilaian dan pada beberapa alasan untuk membuat keputusan menggunakan bukti itu. Validitas merupakan kunci utama dalam evaluasi suatu penilaian. Sayangnya, hal itu terkadang tersapu oleh masalah teknis lainnya, seperti keandalan dan objektivitas.

 

Ø  Critizising

Ruthven (1987) memberikan kritik yang tajam atas stereotip kemampuan, dan berpendapat sebaliknya bahwa konsistensi pencapaian matematika siswa kurang dari yang diperkirakan, berbeda beda dalam topik dan waktunya. Di sisi lain, harapan guru dan stereotip menjadi pemenuhan diri dan pembedaan kurikulum dalam matematika yang bisa membuat pg menghentikan penelitian pada perbedaan individu dalam hal kemampuan. Kontributor yang berkembang dalam tradisi ini adalah Vygotsky (1962), yang menyatakan bahwa bahasa dan pemikiran berkembang bersama sama, dan bahwa kemampuan pelajar bisa diperluas, melalui interaksi sosial, melampaui "zone of proximal development". Interaksi perkembangan personal dan konteks sosial serta sasaran melalui aktivitas menjadi dasar dari Activity Theory (Teori Aktivitas) oleh Leont'ev (1978) dan lainnya.

 

Ø  Constructing

Dalam pembelajaran matematika, guru harus mampu mengkonstruksi pembelajaran agar tujuan pembelajaran tercapai. Dalam pembelajaran matematika, penggunaan teknologi tersebut dapat dijadikan sebagai upaya alternatif untuk menyampaikan materi pelajaran secara bermakna yang dapat membangun konstruksi pengetahuan siswa, dan sekaligus dapat dijadikan sebagai upaya untuk dapat meminimalkan kesan negatif anak terhadap pelajaran ini serta menumbuhkan minat dan motivasi belajar siswa. Penggunaan program multimedia interaktif dikatakan efektif jika program tersebut mampu menyajikan proses penyajian informasi (penyampaian materi pelajaran), fasilitas praktik untuk siswa, dan programnya dapat menilai hasil belajar siswa. Selain itu, program juga harus mengakomodasi proses pemberian bimbingan belajar bagi siswa. Mengingat bahwa PMI merupakan bentuk program pembelajaran yang menempatkan fungsi komputer berperan sebagai guru, maka proses pemberian bimbingan yang dimaksud dalam program tersebut adalah upaya untuk membantu siswa dalam membangun konstruksi pengetahuan dan mengatasi permasalahannya. Menurut Jonassen (dalam midepetan.wordpress.com), untuk membangun konstruksi pengetahuan disamping menggunakan masalah dan pertanyaan juga didukung dengan kegiatan guru yang berupa bimbingan.

 

Ø  Social Activity

Sebuah aspek penting dari pembelajaran sosial adalah bahwa ia bergerak menjauh dari lingkungan menjadi guru dan pembentuk identitas, untuk mengakui bahwa lingkungan ditambah perilaku membentuk kepribadian dan pengaruh sekitarnya. Manusia mempengaruhi dunia mereka sebanyak dunia mempengaruhi manusia. Sebagai pendidik, guru dapat membangun lingkungan yang akan membantu membentuk siswa. Guru akan dapat memperkuat perilaku tertentu dengan memantau respons dan menemukan sumber daya yang akan membantu memodelkan dan membentuk lingkungan dan perilaku. Pembelajaran sosial menciptakan pembelajar tangguh yang menjadi siswa dengan rasa efikasi diri yang kuat. Teori perilaku menunjukkan bahwa orang belajar dari lingkungan mereka. Teori belajar kognitif melihat pada proses yang digunakan untuk belajar. Teori ini pertama kali dikembangkan oleh psikolog Albert Bandura pada tahun 70-an, namun, orang telah belajar dari satu sama lain dan lingkungan mereka selama berabad-abad. Kita semua secara intrinsik tahu apa itu dan bagaimana menerapkannya. Teori Bandura memberi kita empat ideologi untuk menunjukkan bagaimana menciptakan kondisi ideal untuk pembelajaran sosial yang positif terjadi—perhatian, retensi, reproduksi, dan motivasi. Jika keempat kondisi tersebut diaktifkan, siswa dapat bertindak sebagai pendidik dan pembelajar. Konsep ini juga mendorong penguatan positif dan meniadakan perilaku yang tidak menguntungkan melalui tanggapan orang lain. Pendekatan holistik ini berarti bahwa siswa terus belajar di semua lingkungan.

 

Ø  Atittude

Sebuah studi Stanford telah menemukan bahwasanya sikap positif terhadap matematika meningkatkan pusat memori otak dan memprediksi kinerja matematika terlepas dari faktor-faktor seperti IQ anak. Dalam sebuah penelitian terhadap siswa sekolah dasar, para peneliti di Fakultas Kedokteran Universitas Stanford menemukan bahwa memiliki sikap positif tentang matematika terkait dengan fungsi yang lebih baik dari hipokampus, pusat memori penting di otak, selama kinerja masalah aritmatika. “Sikap sangat penting,” kata Lang Chen, PhD, penulis utama studi tersebut dan sarjana postdoctoral dalam ilmu psikiatri dan perilaku. “Berdasarkan data kami, kontribusi unik dari sikap positif terhadap pencapaian matematika sama besarnya dengan kontribusi dari IQ.” Para ilmuwan tidak menyangka kontribusi sikap begitu besar, kata Chen. Mekanisme yang mendasari hubungannya dengan kinerja kognitif juga tidak terduga. “Sungguh mengejutkan melihat bahwa tautan tersebut bekerja melalui pembelajaran yang sangat klasik dan sistem memori di otak,” kata penulis senior studi tersebut, Vinod Menon, PhD, profesor psikiatri dan ilmu perilaku.

Ø  Content

Dalam Lampiran Permendikbud No.21 Tahun 2016 dinyatakan bahwa standar Isi dikembangkan untuk menentukan kriteria ruang lingkup dan tingkat kompetensi yang sesuai dengan kompetensi lulusan yang dirumuskan pada Standar Kompetensi Lulusan, yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Karakteristik, kesesuaian, kecukupan, keluasan, dan kedalaman materi ditentukan sesuai dengan karakteristik kompetensi beserta proses pemerolehan kompetensi tersebut. Ketiga kompetensi tersebut memiliki proses pemerolehan yang berbeda. Kompetensi sikap dibentuk melalui aktivitas-aktivitas: menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan. Kompetensi pengetahuan dimiliki melalui aktivitas-aktivitas: mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Kompetensi keterampilan diperoleh melalui aktivitas-aktivitas: mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta.

 

Ø  Method

Ada beberapa metode dalam matematika yang bisa digunakan guru untuk membantu siswa memahami matematika, diantaranya adalah:

o   Repetisi/Pengulangan

Pengulangan Strategi sederhana yang dapat digunakan guru untuk meningkatkan keterampilan matematika adalah pengulangan. Dengan mengulang dan meninjau kembali rumus, pelajaran, dan informasi sebelumnya, siswa lebih mampu memahami konsep dengan lebih cepat. Menurut Profesor W. Stephen Wilson dari Johns Hopkins University, konsep-konsep inti matematika dasar harus dikuasai sebelum siswa dapat pindah ke studi yang lebih maju. Pengulangan adalah alat sederhana yang memudahkan siswa untuk menguasai konsep tanpa membuang waktu. Menurut University of Minnesota, pengulangan atau ulasan harian akan membawa pelajaran sebelumnya kembali menjadi sorotan dan memungkinkan guru untuk membangun keterampilan sebelumnya. Pengujian waktunya Ketika guru bergerak melampaui konsep sederhana angka menjadi penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian, penting untuk memasukkan tes berjangka waktu yang meninjau kelas sebelumnya atau beberapa kelas. Mengambil tes singkat dan kemudian menilai tes di kelas akan membantu guru menilai pemahaman siswa. Ketika tes menunjukkan bahwa siswa menjawab lebih banyak pertanyaan dengan benar dalam jangka waktu tertentu, guru dapat menentukan bahwa siswa telah menguasai keterampilan dasar. Pekerjaan berpasangan Matematika tidak terbatas pada belajar dari buku teks, pelajaran, atau strategi pengujian. Siswa memiliki gaya belajar yang berbeda dan perlu memiliki pelajaran yang membantu meningkatkan semua gaya belajar untuk mendapatkan hasil terbaik. Kerja kelompok adalah strategi sederhana yang memungkinkan siswa untuk bekerja dan memecahkan masalah dengan seorang teman. Ketika seorang guru telah memberikan instruksi dasar, akan sangat membantu untuk membagi kelas menjadi pasangan atau kelompok untuk mengerjakan masalah.

o   Kerja Kelompok

Matematika tidak terbatas pada belajar dari buku teks, pelajaran, atau strategi pengujian. Siswa memiliki gaya belajar yang berbeda dan perlu memiliki pelajaran yang membantu meningkatkan semua gaya belajar untuk mendapatkan hasil terbaik. Kerja kelompok adalah strategi sederhana yang memungkinkan siswa untuk bekerja dan memecahkan masalah dengan seorang teman. Ketika seorang guru telah memberikan instruksi dasar, akan sangat membantu untuk membagi kelas menjadi pasangan atau kelompok untuk mengerjakan masalah.

o   Games matematika

Memperkuat informasi yang dipelajari di kelas tidak selalu merupakan tugas yang paling mudah bagi guru, tetapi permainan matematika memberikan kesempatan untuk membuat pelajaran menjadi menarik dan mendorong siswa untuk mengingat konsep. Tergantung pada ukuran kelas, ketersediaan komputer, dan pelajaran yang diajarkan, permainan dapat bervariasi. Guru dapat menggunakan permainan komputer untuk keterampilan tertentu atau dapat memilih untuk menggunakan permainan kelas untuk membuat pelajaran lebih menyenangkan. Guru harus yakin untuk memasukkan strategi ke dalam permainan untuk membantu siswa mempelajari materi. Keterampilan matematika adalah bagian penting dari kehidupan. Untuk menawarkan bantuan paling banyak kepada siswa, guru perlu memasukkan beberapa strategi untuk memberi siswa kesempatan untuk pertumbuhan di masa depan.

Ø  Conjecture

Dalam matematika, dugaan adalah kesimpulan atau proposisi yang diduga benar karena bukti pendukung awal, tetapi belum ditemukan bukti atau sanggahannya. Beberapa dugaan, seperti hipotesis Riemann (masih berupa dugaan) atau Teorema Terakhir Fermat (dugaan hingga dibuktikan pada tahun 1995 oleh Andrew Wiles), telah membentuk banyak sejarah matematika karena bidang matematika baru dikembangkan untuk membuktikannya.

Ø  Embodiment

Alibali (2011) berpendapat bahwa kognisi matematika diwujudkan dalam 2 pengertian utama: Hal ini didasarkan pada persepsi dan tindakan, dan didasarkan pada lingkungan fisik. Kami menyajikan bukti untuk masing-masing klaim ini yang diambil dari gerakan yang dihasilkan oleh guru dan peserta didik ketika mereka menjelaskan konsep dan ide matematika. Kami berpendapat bahwa (a) gerakan menunjuk mencerminkan landasan kognisi di lingkungan fisik, (b) gerakan representasional mewujudkan simulasi mental tindakan dan persepsi, dan (c) beberapa gerakan metaforis mencerminkan metafora konseptual berbasis tubuh. Dengan demikian, gerak tubuh mengungkapkan bahwa beberapa aspek pemikiran matematis diwujudkan.

REFERENSI:

Alibali, M. W., & Nathan, M. J. (2012). Embodiment in Mathematics Teaching and Learning: Embodiment in Mathematics Teaching and Learning: Evidence From Learners’ and Teachers’ Gestures, 247–286. Journal of the Learning Sciences Vol.21 No.2, 247-286.

Foundation, S. I. (2008). International Baccalaureate. Retrieved from Senri International School Foundation: http://yayoi.senri.ed.jp/ois/curriculum/maths_aims_objs.htm

Krisnadi, E. (2010). MEMBANGUN KONSTRUKSI PENGETAHUAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PEMANFAATAN PROGRAM MULTIMEDIA INTERAKTIF (PMI). Temu Ilmiah Nasional Guru II (pp. 1-14). Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.

Leont’ev, A. (1978). Activity, Consciousness, and Personality. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Press, N. A. (2021). Evaluating Mathematics Assessment. Retrieved from National Academic Press: https://www.nap.edu/read/2235/chapter/8

Quora. (2018, October 10). Is mathematics subjective? Retrieved from Quora: https://www.quora.com/Is-mathematics-subjective

Komentar