Langsung ke konten utama

EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN PROGRESSIVE PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA

 EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN PROGRESSIVE PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA

                                                             oleh Sari Nurlita, S.Pd


ABSTRAK

 

Ideologi pendidikan progresif adalah sebagai suatu rekonstruksi atua reorganisasi pengalaman agar lebih bermakna. Pendidikan progresif membutuhkan penempatan arti luas dalam mewujudkan esensi dan visinya. Dalam hal ini pengenalan ilmu dan pembentukan karakter yang berakar pada pengenalan logika retoris yang mencirikan pendidikan progresif. Formulasi yang diciptakan adalah disesuaikan dengan kebutuhan anak dan pola belajar alami mereka. Sehingga dalam hal ini  pendidikan membutuhkan paradigma dan orientasi baru agar relevan tidak hanya bagi siswa tetapi juga pendidik. Penerapan ideologi pendidikan tersebut erat kaitannya dengan proses mempelajari matematika. Proses pembelajaran matematika membutuhkan pendekatan dan penghayatan makna pendidikan yang berpusat pada perkembangan kognitif siswa. Pemaknaan tersebut berkaitan dengan pendekatan pembelajaran yang progresif salah satunya adalah pendekatan open-ended. Sehingga keterkaitan penghayatan makna filsafat pendidikan hingga ideologi pendidikan progresif berperan penting pada proses pembelajaran matematika. Adapun salah satu fakta implementasi ideologi pendidikan progresif pada pembelajaran matematika tertuang pada proses pembelajaran materi trigonometri menggunakan pendekatan open-ended.

 

Keywords: ideologi pendidikan progresif, materi trigonometri, pendekatan open-ended


PENDAHULUAN

 

Apa itu pendidikan dan apa artinya dididik? Sebagai gagasan sentral dalam filsafat pendidikan, analisis konsep pendidikan, bagi banyak orang, sangat penting untuk memahami pertanyaan: seperti apa pendidikan yang baik, misalnya, dan bagaimana dapatkah itu dicapai, diukur, dan dievaluasi? Adapun menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif ini tergantung, setidaknya sebagian, pada analisis konsep pendidikan. Seperti yang dipertahankan dalam filosofi pengantar teks pendidikan ini adalah pertanyaan utama dan penting dalam pemikiran pendidikan  (Pixler, 1992).

Adapun epistemologi pendidikan dibatasi oleh pertanyaan yang berbeda tetapi terkait erat: apa itu pendidikan dan apa tujuan pendidikan (Watson, 2016). Pertanyaan-pertanyaan ini memunculkan serangkaian perhatian filosofis yang kaya yang dapat dieksplorasi secara bermanfaat dengan memanfaatkan sumber-sumber epistemologi dan filsafat pendidikan. Oleh karena itu, mereka merupakan fokus utama untuk perdebatan dalam epistemologi pendidikan. Gambaran kontemporer yang kaya dan kompleks inilah yang memberikan latar alami untuk fokus baru pada pendidikan dalam epistemologi. Dengan demikian, perhatian epistemologi sekali lagi selaras dengan pertanyaan-pertanyaan yang terletak di jantung filsafat pendidikan. Dalam hal ini tidak lepas dari salah satu makna ideologi Pendidikan yang berfokus pada perkembangan pengalaman dan kognitif siswa yaitu ideologi pendidikan progresif.

Pendidikan progresif membutuhkan penempatan arti luas dalam mewujudkan esensi dan visinya. Dalam hal ini pengenalan ilmu dan pembentukan karakter yang berakar pada pengenalan logika retoris yang mencirikan pendidikan progresif. Formulasi yang diciptakan adalah disesuaikan dengan kebutuhan anak dan pola belajar alami mereka. Cara belajar yang alami ini. Cara belajar alami ini dijelaskan dalam terang bagaimana anak-anak belajar dalam konteks informal di mana pembelajaran tidak dipaksakan, dan biasanya bukan tujuan eksplisit dari kegiatan tersebut. Deskripsi yang tepat tentang seperti apa pembelajaran alami itu bervariasi, tetapi dikotomi antara keadaan pembelajaran buatan dan alami mendominasi pemikiran pendidikan progresif (Oelkers, 2002). Pendapat Rousseau menegaskan bahwa kebebasan tersebut yang diatur dengan baik

Pandangan ideologi pendidikan progresif menurut John Dewey adalah sebagai suatu rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman supaya lebih berarti, yang kemudian pengalaman tersebut dapat menjadi arahan pengalaman yang akan didapat selanjutnya. Adapun pemikiran utama menurut John Dewey dalam (Paryanto, 2010) tentang pendidikan adalah sebagai berikut: 1). Siswa hendaknya aktif, learning by doing; 2) belajar hendaknya didasari motivais instriksik; 3) pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap; 4) kegiatan belajar hendaknya didasari dengan kebutuhan dan minat siswa; 5) Pendidikan harus mencangkup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, yang artinya prosedur demokratis sangat penting; 6) kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata dan bertujuan mengembangkan dunia tersebut. Dewey perpandangan bahwa pendidikan merupakan transaksi antar person dan lingkungannya.

Terlepas dari pembenaran tujuan pendidikan, Dewey mengkritik kecenderungan pendidik untuk menetapkan tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dan tetap, sehingga melemahkan kapasitas peserta didik untuk memainkan peran aktif dalam membimbing tidak hanya sarana, tetapi juga tujuan dari proses Pendidikan (Dishon, 2017). Alih-alih menawarkan model positivistik pembangunan manusia yang tepat, Dewey mendefinisikan tujuan pendidikan sebagai penanaman warga negara yang demokratis. Bagi Dewey, perkembangan tidak memiliki tujuan eksternal yang dicapai anak-anak pada saat pematangan, pertumbuhan itu adalah tujuan itu sendiri, dan belajar adalah proses seumur hidup (Dishon, 2017). Alih-alih tujuan tetap, Dewey berusaha untuk menawarkan kriteria pendidik - kegiatan yang akan mendukung kapasitas siswa untuk belajar lebih lanjut. Dengan demikian, kebebasan bukan hanya sarana untuk mengembangkan kapasitas dan watak tertentu, tetapi juga merupakan tujuan itu sendiri. Menumbuhkan siswa yang dapat memeriksa dan menetapkan tujuan, sehingga berpartisipasi secara bermakna dalam demokrasi, membutuhkan fasilitasi peluang analog dalam konteks pendidikan. Seperti yang dikatakan Dewey bahwa pendidikan bergantung pada anak-anak yang mengejar tujuan langsung, para pendidik akhirnya mencoba untuk secara artifisial menciptakan kembali 'tujuan alami' untuk anak-anak, yang pada dasarnya merupakan upaya paradox (Dishon, 2017)

Wacana kelas dapat bersifat progresif dalam arti yang sama dengan sains secara keseluruhan bersifat progresif. Kemajuan ilmiah bukanlah satu aliran yang homogen yang berisi wacana lokal yang tak terhitung banyaknya yang progresif menurut standar orang-orang yang berpartisipasi tetapi, sehubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan secara keseluruhan, mungkin hanya mengejar atau bahkan mungkin menuju ke arah yang salah. Hal terpenting dari wacana-wacana lokal itu bersifat progresif dalam arti bahwa pemahaman-pemahaman yang baru dimunculkan oleh para peserta lokal dan bahwa para peserta mengakui lebih unggul dari pemahaman-pemahaman mereka sebelumnya. (Bereiter, 1994)

Adapun kaitannya dengan sekolah tradisional menurut John Dewey (Dewey, 1930) bahwa “pusat gravitasi berada di luar siswa”. Hal tersebut menjelaskan bahwa dengan harapan siswa mampu menyesuiakn diri dengan peraturan dan kurikulum sekolah. Sedangkan kurikulm sendiri adalah berdasarkan minat siswa tersebut. Secara ketentuan guru mempunyai kebijakan untuk merancang dan membentuk program pembelajaran untuk siswa mereka. Sehingga kurikulum yang digunakan berbeda dengan jenjang dan dari tahun ke tahun. Dalam hal ini pendidik progresif harus menyadari bahwa siswa harus terlibat dalam menyusun ketentuan dan kurikulum program studi yang berlaku.

Kesalahpahaman mengenai pendidikan yang progresif diantaranya sebagai berikut. Perhatian dari guru dan yang peduli dan hormat adalah hal penting, akan tetapi hal tersebut tidak membuat sekolah progresif. Begitu juga dengan sebaliknya hal tersebut adalah suatu ketidakadilan bagi pendidik tradisional yang sebagian besar tidak manusiawi dan menjadi penguasa hanya mengisi sedikit ilmu pengetahuan pada siswa dan memfokuskan pada tugas atua pekerjaan rumah serta memperhatikan secara serius kemajuan setiap anak. Tetapi kita tidak boleh mengklaim atas dasar sebagai progresif. Selain itu dalam sekolah tradisonal para pendidik tradisional juga berkomitmen untuk siswa memahami ide-ide. Ketika melihat hal tersebut terdapat hal menarik tentang progresivitas yaitu siswa dapat merekonstruksi ide-idenya sendiri.  Memahami hal tersebut, dapat diartika bahwa sekolah yang progresif secara budaya belum tentu progresif dalam hal pendidikan.

Melaui usulan dan teori pendidikan progresif oleh Jhon Dewey (Dewey, 1930) menegaskan bahwa pendidikan membutuhkan paradigma dan orientasi baru agar relevan tidak hanya bagi siswa tetapi juga pendidik. Dalam bukunya Experience and Education, Jhon Dewey membahas tentang sebuah teori untuk mendirikan pendidikan yang progresif. Berpikir tentang matematika sebagai ilmu, kami mengerti bahwa itu dapat membawa sifat abstrak dan juga tepat, tergantung bagaimana matematika diperlakukan. Penulis menegaskan bahwa pemecahan masalah kemudian menjadi fokus pada pendidikan matematika, menggunakan situasi rutinitas sehari-hari siswa sehingga mereka dapat membangun pengetahuan mereka sendiri.


PEMBAHASAN

 

Adapun implementasi ideologi pendidikan progresif melalui pendekatan open ended dalam pembelajaran matematika khususnya materi trigonometri menjadi salah satu keterkaitan filsafat, ideologi dan pendidikan matematika melalui suatu proses pembelajaran matematika. Sesuai dengan definisi ideologi pendidikan progresif, bahwa proses pembelajaran yang progresif adalah berpusat pada kemampuan individu (siswa). Dalam hal ini pendidik harus mampu memahami bakat dan minat siswa

Pendekatan open ended ini menjadi salah satu metode pengemasan suatu strategi pembelajaran untuk mewujudkan pembelajaran matematika yang lebih progresif yaitu menekankan pada kemampuan masing-masing individu/ siswa. Pendekatan open ended digunakan sebagai pendukung proses pembelajaran matematika yang mewujudkan ideologi pendidikan progresif pada materi trigonometri. Dalam buku “The Ideal Problem Solving” karya (Bransford & Stein, Barry, 1993) pendekatan IDEAL ((I)dentify problems and opportunity, (D)evine goals, (E)xplore possible strategies, (A)nticipate outcomes and act, (L)ook back and learn) untuk pemecahan masalah didasarkan pada banyak kekuatan ide, namun tidak ideal dalam arti sempurna atau sistem terbaik yang mungkin bisa diciptakan. Namun demikian, hal ini bisa sangat membantu bagi mereka yang ingin  meningkatkan keterampilan pemecahan masalah mereka. Pendekatan IDEAL dirancang untuk membantu mengidentifikasi dan memahami berbagai bagian atau komponen pemecahan masalah; setiap huruf di kata singkatan dari komponen penting dari proses pemecahan masalah.

Implementasi filsafat dan ideologi dalam pendidikan matematika menjadi aspek penting untuk menunjang pemahaman siswa terhadap materi matematika. Hal ini dilakukan untuk mendalami pemaknaan pendidikan yang sebenarnya salah satunya berkaitan dengan ideologi pendidikan progresif. Dalam hal ini penulis memilih pendalaman kajian tersebut pada materi trigonometri kelas XI khususnya pada matematika peminatan. Adapun subbab yang diambil adalah tentang pembuktian soal-soal tigonometri.

Berdasarkan ideologi pendidikan progresif pada pembelajaran materi trigonometri dilaksanakan sesuai dengan kemampuan dan kreatifitas individu sesuai dengan konstruksi pengalaman dan pengetahuan yang di dapat. Pembelajaran yang progresif membantu siswa mengeksplor cara atau metode menyelesaikan soal-soal trigonometri yang bervariasi sesuai dengan pengalaman dan pemahaman yang didapat sebelumnya. Adapun rincian implementasi filsafat, ideologi pendidikan dan pembelajaran matematika sebagai berikut:

 

1)      Siswa hendaknya aktif, learning by doing;

Melalui pendekatan problem solving, siswa akan diberikan kesempatan untuk aktif dalam proses pembelajaran. Pemecahan masalah yang berkaitan dengan penyelesaian pembuktian soal trigonometri yang berisikan cara penyelesaian yang berbeda disesuaikan dengan pemahaman dan kemampuan versi masing-masing individu. Dalam hal ini akan terdapat berbagai cara penyelesaian yang berbeda pada masing-masing pengerjaan siswa akan tetapi hasil akhir pembuktian yang sama.

 

2)      Belajar hendaknya didasari motivasi instrinsik;

Dalam poin ini, perlunya didasari motivasi dalam diri siswa dalam mengeksplor pemahaman dan kemampuan yang didapat. Sehingga akan muncul bakat dan minat siswa yang akan dibangun melalui motivasi instriksik yang mereka miliki. Adapun adanya motivasi instrinsik ini mampu menjadi benteng dalam mengahadapi ilmu dan pengalaman-pengalaman baru berikutnya.

 

3)      Pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap;

Pengetahuan sejatinya tidak bersifat tetap akan tetapi akan terus mengalami perubahan dan berkembang. Pengetahuan dapat dibangun berdasarkan masing-masing pemahaman dan pengalaman siswa terkait materi trigonometri. Berikut contoh hasil pengerjaan siswa yang berbeda dalam hal proses pengerjaan pada soal pembuktian trigonometri.

Gambar: pengerjaan siswa A

 



Gambar: pengerjaan siswa B

 

Adapun gambar tersebut adalah hasil pengerjaan siswa kelas XI SMA N 1 Sidareja Kabupaten Cilacap (sekolah almamater penulis). Pada pengerjaan siswa A dan siswa B adalah jawaban yang benar dengan proses pengerjaan yang berbeda. Pada hasil pengerjaan siswa A menerapkan aturan identitas trigonometri yang diubah dalam bentuk persamaan  sehingga membutuhkan alur yang panjang. Adapun pada hasil pengerjaan siswa B menerapkan aturan identitas trigonometri yang diubah dalam bentuk persamaan . Hal tersebut adalah bukti bahwa terdapat perbedaan cara dalam menerapkan pengetahuan dan pemahaman pada masing-masing siswa.

 

4)      kegiatan belajar hendaknya didasari dengan kebutuhan dan minat siswa;

Sesuai dengan hasil pengerjaan siswa A dan B menyatakan bahwa pendidik telah memberikan kesempatan siswa dalam ngekspor dan menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang telah di dapat sebelumnya. Hal tersebut di dasari sesuai dengan kebutuhan siswa dan minat siswa dalam memilih berbagai cara dalam menyelesaikan pembuktian soal trigonometri.

 

5)      Pendidikan harus mencangkup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, yang artinya prosedur demokratis sangat penting;

Pendidikan sejatinya adalah untuk kebermanfaatan dan disesuaikan dengan zamannya. Pendidikan harus mencangkup prinsip saling memahami dan menghormati kemampuan masing-masing siswa yang memiliki kemampuan pemecahan masalah ataupun penalaran yang berbeda dalam menyelesaikan soal matematika, dalam hal ini diimplementasikan melalui pembelajaran materi trigonometri.

 

6)      kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata dan bertujuan mengembangkan dunia tersebut

Adapun nilai terpenting dalam pendidikan atau keilmuan adalah kebermanfaatannya dalam kehdiupan riil (nyata). Dalam hal ini penerapan materi trigonometri dalam kehidupan nyata adalah perhitungan maupun persamaan sudut.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bereiter, C. (1994). Implications of Postmodernism for Science, or, Science as Progressive Discourse. Educational Psychologist, 29(1), 3–12. https://doi.org/10.1207/s15326985ep2901_1

Bransford, J. D., & Stein, Barry, S. (1993). The ideal problem solver: A guide for improving thinking, learning, and creativity.

Dewey, J. (1930). Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education, 434. Diambil dari http://books.google.com/books?id=tfUvXujrJHEC&pgis=1

Dishon, G. (2017). New data, old tensions: Big data, personalized learning, and the challenges of progressive education. Theory and Research in Education, 15(3), 272–289. https://doi.org/10.1177/1477878517735233

Oelkers, J. (2002). Rousseau and the image of “modern education.” Journal of Curriculum Studies, 34(6), 679–698. https://doi.org/10.1080/00220270210141936

Paryanto, P. (2010). Penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif Tipe Group Investigation untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Teori Pemesinan Dasar. Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, 19(2), 169–194. https://doi.org/10.21831/JPTK.V19I2.7738

Pixler, P. W. (1992). An Introduction to Philosophy In Education. Idealistic Studies, 22(3), 277–278. https://doi.org/10.5840/idstudies199222365

Watson, L. (2016). The Epistemology of Education. Philosophy Compass, 11(3), 146–159. https://doi.org/10.1111/phc3.12316

Komentar